Nahdlatul Ulama (NU) harus membentengi berbagai tradisi keagamaannya dengan memberikan hujjah atau dasar hukum yang merujuk pada dua sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
”Tradisi keagamaan sebagai basis kultural kita harus dibentengi dengan hujjah yang jelas,” kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi saat berceramah di hadapan para qari’ dan huffazh Al-Qur’an dan para imam masjid di ruang pertemuan gedung PBNU, Jakarta, Sabtu (31/5).<>
Pembentengan itu adalah bagian dari program besar NU yakni al-muhafadzah alal qadimis shalih atau memelihara tradisi lama yang baik. Dikatakan Masdar, tradisi keagamaan warga NU (Nahdliyin) saat ini kerap mendapat sanggahan dari kalangan luar NU.
”Sekarang banyak yang menanyakan dasar hukum tahlilan, ziarah kubur dan talqin mayyit itu apa? Nahdliyyin perlu menjawab itu tidak bisa mengatakan bahwa kita melakukan itu karena para kiai dan orang tua kita melakukan itu,” kata Masdar.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu menyatakan, program pemeliharaan tradisi (muhafadzah) tidak cukup dilakukan dengan menjadwal kegiatan keagamaan secara rutin.
”Tahlilan itu tidak perlu diagendakan. Yang dilakukan perlu sekarang adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai tradisi keagamaan kita. Mulai sekarang para imam masjid harus sudah hafal di luar kepala semua hujjah dari semua tradisi keagamaan kita,” kata Masdar di hadapan ratusan imam masjid se Ja-bodetabek dan beberapa perwakilan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Dikatakannya beberapa buku pedoman tentang hujjah tradisi keagamaan NU sudah diterbitkan. Antara lain, ”Ahlussunnah wal Jamaah Menjawab” dan ”Potret Gerakan Dakwah NU” yang diterbitkan oleh Lembaga Dakwah NU, ”Masalah Garis Perbatasan” oleh Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) NU, dan ”Kenapa Takut Bid’ah?” oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU.
Lebih lanjut dikatakan Masdar, bagian penting lainnya dari program besar NU adalah akhdzu bil jadidil ashlakh atau membuat berbagai trobosan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Menurutnya, program inilah yang menjadi tujuan utama didirikannya NU sebagai organisasi.
”Kalau untuk sekedar tahlilan saja maka sebenarnya itu sudah jalan tanpa harus ada NU. Organisasi NU didirikan bukan untuk tahlilan dan sebagainya, tapi untuk melakukan kegiatan-kegiatan keumatan,” kata Masdar yang juga penulis buku tentang pemberdayaan umat melalui masjid.
Hadir dalam acara halaqah itu, KH Muhaimin Zen, Ketua Umum Jam'iyyatul Qurra' wal Huffazh (JQH) atau organisasi para qari' dan hafizh Al-Qur'an di lingkungan NU dan Dr. Syarifuddin Muhammad, Ketua Lembaga Ta'mir Masjid Indonesia (LTMI). (nam)