Warta

Kerusakan Hutan Cermin Tingginya Korupsi

Selasa, 28 Oktober 2003 | 20:14 WIB

Jakarta, NU.Online
Tingginya angka kerusakan hutan di Indonesia, mencapai 3,8 juta hektare/tahun, memiliki  korelasi positif terhadap maraknya kasus korupsi, kolusi dan  nepotisme (KKN) di Tanah Air, kata pemerhati masalah sosial politik  dan hukum di Kalimantan Timur.

Menurut Prof Sarosa Hamongpranoto, SH, M.Hum, di Samarinda, Selasa, seperti dikutip Antara menyatakan, kerusakan hutan yang terjadi di  Indonesia tidak lepas dari praktek KKN yang kini tetap marak terjadi di tengah masyarakat Indonesia.

<>

Mantan  Dekan  FISIP Universitas Mulawarman Samarinda itu setuju dengan pernyataan direktur Forest Watch Indonesia (FWI) Togu Manurung yang menyatakan bahwa tingginya kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia berkaitan  dengan  besarnya  penyimpangan  berbagai aturan dan maraknya KKN di Tanah Air.

"Akar persoalan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan yang luar biasa di Indonesia karena maraknya praktek KKN di Indonesia," kata Togu Manurung.

Prof Sarosa Hamongpranoto menambahkan, tidak salah apabila laju kerusakan hutan tertinggi di dunia itu dikaitkan dengan besarnya kasus KKN di Indonesia, sehingga banyak pihak asing menilai negeri ini sebagai salah satu negara korup di dunia, no-6 negra terkorup di dunia.

"Saya  kira  penilaian itu tidak salah, kalau saja hukum ditegakkan, KKN dalam pengelolaan hutan dihilangkan, dan pengawasan benar-benar dilaksanakan, tidak akan mungkin terjadi penyimpangan dalam pengelolaan hutan yang  menyebabkan  hancurnya  hutan Indonesia," kata Sarosa.

Secara hukum, menurutnya, semua aturan pengelolaan hutan di Indonesia sudah banyak dan baik, hanya saja kelemahannya adalah pada pelaksanaan dan pengawasannya. Ia kemudian mencontohkan adanya undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup, kemudian UU tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam, yang terbaru ada UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, namun kenyataannya kasus penyimpangan tetap terjadi.

"Bahkan kita menduga kuat aparat penegakan hukum mencari celah-celah dari pasal-pasal yang ada untuk melegalkan kegiatan pembabatan hutan," kata Sarosa. Menurutnya juga, persoalan KKN sebenarnya sudah membudaya dan cermin dari perilaku para elit pemimpin negara, sehingga banyak terjadi kasus penyimpangan dibiarkan mengambang.

Tegakan hukum

Hal senada dikatakan pemerhati kehutanan Kaltim yang juga Ketua Dewan Pendiri Pioner Kalimantan Timur, Iman Suramanggala, yang menilai bahwa aturan hukum pengelolaan kehutanan sudah sangat banyak dan memadai, sayangnya tidak pernah dilaksanakan.

"Sangat banyak pasal yang dapat menjerat pelaku perusakan  hutan, termasuk perusahaan HPH, persoalannya, aparat penegakam hukum mengambil keuntungan dari kasus ini. Sudah menjadi rahasia umum aparat penegakam hukum juga bermain kayu," katanya.

Ia juga menyinggung maraknya kasus penyimpangan dana reboisasi (DR) di Kaltim, yang tingkat keberhasilannya hanya kurang dari 40 persen.Provinsi Kaltim melalui dana alokasi khusus (DAK) pada tahun 2002 dan 2003 mendapat kucuran dana untuk rehabilitasi hutan mencapai Rp190 miliar.

Menurutnya, bagaimana hutan Kaltim tidak rusak apabila dana untuk merehabilitasi hutan yang rusak dan porak-poranda akibat kebakaran hutan 1997-1998, yang mencapai luasan 5,2 juta Ha, ternyata juga disalahgunakan.

Dikemukakan  Iman  Suramanggala, modus penyalahgunakaan DR antara lain, mengklaim hutan yang masih bagus sebagai lahan kegiatan reboisasi, membayar bibit masyarakat dengan harga sangat murah dan memanfaatkan dana untuk membangun jalan  dan  jembatan, seperti yang terungkap di Kabupaten Kutai Timur.

"Tidak hanya sektor kehutanan, penyimpangan juga terjadi pada sektor lain, sehingga kita yakin, selama KKN merajalela, sulit bagi Indonesia untuk menjaga kelestarian dan keselamatan
hutan.

Sebelumnya FWI melansir bahwa kerusakan hutan di Indonesia sangat besar sumbangannya (lebih dari 20 persen) terhadap laju deforestasi hutan dunia yang saat ini diperkirakan mencapai 14 juta hektare per tahun. Pada  periode 1950-2000 atau selama 50 tahun, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Setengah dari luas tutupan hutan yang tersisa sudah mengalami degradasi, dan telah terfragmentasi oleh  jaringan  jalan, jalur dan akses lain. (Cih)***


Terkait