Memperingati hari lahir (Harlah) NU ke- 85, Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslim) NU menggelar pertunjukan teater Cheng Ho pada Sabtu-Ahad (29-30 Januari di Teater Kecil, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Pertunjukan teater ini merupakan kebangkitan dari tidur panjang Lesbumi dari dunia teater yang telah mengalami kevakuman sejak tahun 70-an. Setelah dihidupkan kembali kelembagaannya melalui Muktamar NU ke-31 di Solo tahun 2004 lalu, berbagai pentas seni yang diselenggarakan Lesbumi belakangan ini lebih berorientasi pada seni di panggung terbuka yang dihadiri ribuan massa.<>
Ketua Lesbumi NU Sastro Al Ngatawi menjelaskan, pagelaran Cheng Ho dipilih mengingat tokoh ini menggunakan strategi islamisasi melalui jalur kebudayaan. “Islam di nusantara telah muncul sejak abad ke tujuh, tetapi baru pada abad ke 15 berhasil dalam dakwahnya dengan menggunakan strategi akulturasi,” katanya, Senin.
Dalam jejaknya, Cheng Ho, seperti dikatakan oleh Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan Cheng Ho mengadakan muhibah ke selatan sebanyak tujuh kali antara tahun 1405-1433. Kala itu, Islam telah dianut oleh penduduk Tiongkok dan Persia. Ma Huan dalam Ying-Yai Sheng-Lan mencatat, penduduk pribumi di kota-kota utara Jawa masih memuja batu-batu dan ruh. Dan sepanjang muhibahnya, Cheng Ho di sejumlah tempat seperti Semarang (Wang Jing Hong), Kerawang (syekh Quro) Kelapa (Soei Soe) meninggalkan anak buahnya untuk melakukan dakwah Islam kepada penduduk yang belum menerima Islam.
Kisah yang diangkat dalam pagelaran ini bermula dari perubahan kekuasaan dari dinasti Yuan ke dinasti Ming yang menimbulkan pertumpahan darah. Ma Ho, menjadi salah satu korbannya ketika ia masih berusia kanak-kanak. Ia ditangkap dan dikebiri untuk dijadikan sebagai salah satu hamba di istana. Karena prestasi dan tradisi keluarganya yang pelaut, ia akhirnya mampu menduduki karir sampai tingkat laksamana.
Konflik dan perebutan kekuasaan diantara elit kerajaan Tiongkok telah menyebabkan situasi dalam negeri semakin melemah dan pengaruh ke luar semakin berkurang. Kaisan Zhu Di yang bergelar Kaisah Yongle yang berhasil memenangkan pertempuran dengan keponakannya, Jianwen, berusaha memulihkan kejayaan Tingkok. Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Dari sinilah petualangan Ho sebagai pelaut dimulai. Selama 28 tahun pelayarannya, ia telah berhasil mengunjungi lebih dari 35 negara.
Pagelaran ini merupakan gabungan dari teater, sendratari dan wayang yang semuanya berlangsung sekitar dua jam, dengan iringan musik gamelan dan alat musik tradisional Tiongkok. Nuansa Tiongkok semakin kental dengan baju ala Tiongkok yang didominasi warna merah.
Ki Enthus Sasmono mampu memainkan wayang-wayang goleknya dengan indah, apalagi ditambah guyon segarnya yang membuat para penonton berulangkali tertawa lepas. Misi dakwah juga dicoba digabungkan dalam dialog para lakon.
Sayangnya, penggabungan tari, wayang dan teater ini membuat kisah yang dimunculkan terkesan lepas dan agak sulit mencari sambungannya. Sisipan cerita percintaan ala Hollywood antara Cheng Ho dengan kekasihnya, yang dimainkan oleh Rieke Dyah Pitaloka juga terlalu dipaksakan, jika mengingat Ho telah dikebiri dari kecil.
Apapun, langkah Lesbumi ini patut pendapat apresiasi. Para penonton juga menunjukkan wajah puasnya usai pagelaran. Bertepatan dengan Imlek, banyak warga Tionghoa yang memburu tiket pertunjukan sehingga banyak yang mendapat tempat. Untuk mengobati rasa penasaran mereka yang belum bisa menonton pertunjukan ini, pagelaran ini akan diulang pada 10-11 Februari mendatang di Graha Bhakti Budaya yang memiliki tempat duduk dan panggung yang lebih besar. (mkf)