Warta

Hasyim: Indonesia Mengulangi Kegagalan Demokrasi Liberal

Kamis, 10 Juli 2008 | 12:36 WIB

Jakarta, NU Online
Bangsa Indonesia kurang belajar dari sejarah. Pada tahun 1950-an Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal dengan multi partai. Namun sistem itu tidak berhasil, dan akhirnya memunculkan dekrit presiden. Tetapi sistem liberal dengan multi partai itu kini diberlakukan kembali.

Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, dalam sistem multi partai tidak pernah ada lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif yang kuat, sehingga  tidak ada pemerintahan yang efektif.<>

Dalam sistem multi partai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau lembaga legislatif dikuasai sepenuhnya oleh partai-partai politik. Sementara partai politik juga mengkapling eksekutif, dan masih mengakses dewan yudikatif.

“Ada politisasi total disitu. Karena tidak ada partai yang pionir (pelopor), istilah Bung Karno, tidak ada partai yang dominan maka seorang kepala negara terpaksa bersikap  mengambang diantara kepentingan banyak partai, berenang-renang diantara partai kecil. Maka pengambil keputusan itu menjadi tidak ada. Ini membahayakan untuk negara yang berkembang,” kata Hasyim kepada NU Online di kantor PBNU Jakarta, Kamis (10/7).

Pada masa Orde Baru partai politik berjumlah sepuluh. Jumlah itu dinilai terlalu banyak. Maka disederhanakan melalui konsensus nasional menjadi tiga. Menurut Hasyim, sebenarnya jumlah tiga itu sudah sangat ideal, masing-masing wewakili keahlian (Golkar), religi (PPP), dan nasionalis (PDI). Di sini semua elemen masyarakat telah tercakup dalam  wadah besar itu.

“Sinergi ketiganya itu sudah bagus, yang tidak bagus adalah karena secara de facto partai-ipartai politik ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Golkar sebagai partai penguasa hanya alat legalisasi kekuasaan. Padahal Golkar ditambah 20 persen Fraksi ABRI kan sudah mayoritas. Maka Golkar disuruh ‘apa saja’ sementara PPP dan PDI didisfungsikan,” katanya.

Dikatakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, kesalahan Orde Baru itu bukan pada jumlah partai yang hanya tiga, tetapi salah memfungsikannya. “Nah karena salah memfungsikannya ini malah partai-partai menjadi alat legalisasi bukan alat aspirasi,” katanya.

”Mestinya pada masa reformasi kita kembalinya kepada Orde Baru plus demokratisasi, bagaimana sumber-sumber demokrasi itu dihidupkan: Bukan demokrasi liberal yang tanpa batas, tetapi demokrasi yang sesuai dengan karakter bangsa ini dan tetap dalam koridor nasionalisme,” kata Hasyim. (nam)


Terkait