Warta

GP Ansor Sumbar Tingkatkan Konsolidasi

Rabu, 30 Maret 2005 | 06:35 WIB

Jakarta, NU Online
Meski Gerakan Pemuda (GP) Ansor saat ini  telah berdiri di 19 daerah di Sumatra Barat,  namun sebagai organisasi, GP Ansor di wilayah ini secara struktural masih sangat lemah. Konsolidasi internal harus dilakukan secara lebih intensif, karena peran sertanya sangat dibutuhkan untuk menanggulangi “Penyakit Masyarakat” yang berkembang lebih pesat.

Demikian dikemukakan Bagindo Armaidi Tanjung, wakil ketua Pengurus Wilayah (PW) GP Ansor Sumatra Barat kepada NU Online, Rabu (30/03) di Jakarta.

<>

“Untuk bisa berperan secara maksimal dalam mengatasi berbagai permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat Sumatra Barat, kelemahan Ansor secara struktur di wilayah ini harus lebih dahulu dibenahi, supaya menjadi kuat dan berkualitas perannya,” kata Armaidi Tanjung menjawab pertanyaan NU Online.

Apa pasal penyebab pengurus Anshor yang juga Pembina Pengurus Wilayah IPNU Sumbar ini menunjuk sisi kelemahan struktur sebagai hal pertama yang harus dibenahi. Tampaknya, Tanjung tidak asal tunjuk. Sebaliknya, dia melihat dengan kelemahan struktural GP Ansor di Provinsi Sumbar, sulit diharapkan kiprah organisasi pemuda di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) ini secara lebih maksimal. “Bagaimana diajak mengatasi Pekat (penyakit masyarakat: Red.), mau  datang rapat  sudah untung,” ujarnya.

Sebab itu, Tanjung buru-buru melanjutkan,”Itulah sebabnya, kenapa pembenahan struktural harus mendapat prioritas,” ungkapnya.

Pengurus PWNU Sumbar yang sehari-hari bekerja sebagai Ketua Dewan Redaksi Mingguan MEDIA SUMBAR ini mengupas masalah-masalah struktural yang dihadapi   organisasinya, yaitu belum adanya kesadaran berorganisasi dan perasaan memiliki terhadap Anshor. “Kalau kesadaran berorganisasi sudah bisa ditumbuhkan, juga sense of  belonging, tentu dengan sendirinya mereka akan bertanya, “Untuk Apa Berorganisasi?,ya untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat dan bangsa ini,” tuturnya. 

Dalam rangka membenahi permasalahan struktural itu, kata Tanjung, kami juga harus mensosialisasikan nilai-nilai sosial. “Calon-calon kader GP Ansor harus diberikan penjelasan, kalau organisasi itu sebagai alat berjuang untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, bukan tempat mencari duit,” katanya.

Dari segi dukungan, menurut Tanjung, GP Ansor di Sumbar memiliki potensi besar untuk berkembang pesat. Setidaknya, saat ini, Cabang GP Ansor telah berdiri di 7 Kota besar dan 12  daerah kabupaten di Sumbar. Selain itu, tambah Tanjung, secara kultural, masyarakat Islam di daerah-daerah Sumbar 70  persen menganut paham Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja), hal itu ditunjukkan dengan kegiatan-kegiatan ritual seperti Tahlilan, maupun pengajian. “Ini kan modal sosial yang sangat mendukung pengembangan Anshor dan NU, kalau kita bisa mengorganisirnya,” tandasnya.

Kesembilan belas cabang GP Anshor Sumbar saat ini, menurut penuturan Tanjung, adalah PC GP Ansor Padang, Pariaman, Bukit Tinggi, Payakumbuh, Solok, Sawah Lunto, Padang Panjang, Padang Pariaman, Agam, Pasaman Barat, Pasaman Timur, Lima Puluh Kota, Tanah Datar, Sawah Lunto Sijunjung, Damas Raya, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan, dan Mentawai. Tujuh cabang urutan pertama merupakan cabang di daerah kotamadya, sedangkan sisanya daerah kabupaten.

Tanjung juga menegaskan, bahwa kalau permasalahan Pekat yang dihadapi masyarakat Sumbar saat ini disikapi warga nahdliyin, khususnya pengurus Anshor bukan sebagai beban melainkan tantangan untuk diatasi, tentu GP Ansor di daerah-daerah Sumbar dengan sendirinya akan memperoleh banyak pengikut.

Pekat  yang melanda generasi muda di daerah-daerah Sumbar saat ini, menurut Tanjung, meliputi judi, minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, perkosaan.

Menurut Tanjung, sumber penyebab Pekat tersebut, sebagian berasal dari nilai-nilai negatif yang dicontoh generasi muda dari media elektronik, dan cetak,  seperti televisi, majalah, maupun penyebaran media-media pornografi seperti vcd porno yang saat ini bias sebebas-bebasnya.

“Karena begitu mudahnya masyarakat mendapatkan vcd maupun majalah porno, dan tontonan kekerasan, pergaulan bebas, dan gaya hidup yang merusak tatanan masyarakat, maka tidak mengherankan bila banyak generasi mudah mengalami demoralisasi,” ungkapnya.

Tanjung juga mengatakan, “Bagaimana mungkin generasi muda tidak mengalami demoralisasi, waktu yang mereka gunakan untuk belajar di sekolah masih lebih sedikit dibanding dengan nonton televisi,” tambahnya.

Tanjung memberikan contoh, bahwa anak-anak masuk sekolah pagi hari, dan pulang pukul 13.00 WIB, setelah i


Terkait