Rencana pengenaan sanksi bagi pelaku kawin siri dan kawin kontrak yang berpotensi menimbulkan korban, terutama bagi perempuan mendapat dukungan dari Fatayat NU.
Ketua Umum Fatayat NU Maria Ulfa Anshor menjelaskan kawin siri dan kawin kontrak sangat berisiko bagi perempuan untuk menjadi korban. Salah satu kemungkinan yang dialami adalah ketika tidak memiliki akta nikah, saat suaminya meninggal, ia dan anaknya tidak mendapatkan hak waris.<>
Sejauh ini belum ada penjelasan siapa nantinya yang akan menjadi terpidana dalam kasus kawin siri ini, apakah fihak pengantin laki-laki, perempuan, saksi atau wali.
“Persoalannya ini butuh kesiapan dari masyarakatnya dan harus betul-betul disosialisasikan, jangan sampai perempuan juga tidak tahu dan akhirnya dikriminalkan,” katanya kepada NU Online, Selasa (16/2).
Ia melihat banyak kebijakan pemerintah yang kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan, misalnya dalam berbagai razia WTS, yang dikejar adalah perempuan penjaja seks sementara pelanggannya dibiarkan.
Maria Ulfa juga berpendapat rencana pengaturan ini tidak melanggar HAM, meskipun masalah perkawinan sendiri dianggap sebagai isu privat, tetapi di Indonesia sendiri, negara mengaturnya melalui UU Perkawinan.
“Penegakan HAM bukan berarti semua hal yang terkait dengan persoalan privat tidak ada aturannya, Negara mengatur dalam rangka memberikan koridor. Nikah siri bisa berdampak timbulnya ketidakadilan bagi perempuan,” tandasnya.
Mereka yang selama ini menjadi pelaku kumpul kebo juga akan terkena aturan ini, meskipun dalam perspektif HAM, siapapun berhak untuk menikah atau tidak menikah, tetapi ketika sudah hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah bisa dijerat UU ini.
“Saya menghargai HAM, saya tidak bisa memaksa orang untuk menikah, tapi ini sudah ada aturannya, apalagi saya muslim untuk bisa berhubungan, maka harus menikah,” paparnya.
Dijelaskannya, Indonesia memang menghadapi persoalan ambiguitas antara hukum positif dan hukum agama, yang statusnya dianggap sama dengan adat. Jadi kalaupun misalnya tidak tertulis, ketika terjadi pelanggaran, masyarakat yang menghukum.
“Ini ambigunya hukum positif kita, disatu sisi berupaya menegakkan hukum positif, tetapi disisi lain ada hukum adat yang sangat kuat dan dianut mayoritas karena sumbernya agama. Inilah yang membedakan Barat dan Indonesia,” tandasnya.
Argumentasi bahwa nikah merupakan ibadah yang tidak perlu dipersulit dengan pencatatan administrasi kenegaraan menurutnya juga tidak bisa diterima karena pernikahan merupakan upaya untuk membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Nikah melakukan nikah siri atau pernikahan ke dua sampai ke empat tidak akan dipertanyakan tujuan dari pernikahan ini.
Ia juga berharap agar keberadaan Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) Bidang Perkawinan yang masuk daftar Program Legislasi Nasional 2010 dilihat kembali pasal per pasal konsistensinya.
Isi RUU ini sebagian besar substansinya ternyata sama dengan isi Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan rujukan oleh Peradilan Agama. Pembuatan UU baru ini merupakan upaya untuk menaikkan status sehingga status hukum. Ditambahkannya, RUU ini harus dilihat kembali pasal per pasal, harus konsistem, apa yang dianut HMPA, masih sama dengan UU perkawinan.
“Kita gampang sekali bikin UU, jangan sampai terjadi tumpang tindih atau duplikasi, jangan-jangan kalau sudah dipreteli semua, ternyata tidak perlu membuat yang baru. cukup satu saja atau cukup revisi UU perkawinan,” terangnya. (mkf)