Jakarta, NU Online
Dialog antar agama jangan hanya dilakukan di tingkat pusat atau di ibukota Jakarta. Konflik yang melibatkan agama-agama justru sering terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat kegiatan organisasi-organisasi keagamaan.
"Dialog perlu diintensifkan di daerah-daerah agar hubungan pribadi antar pemeluk agama semakin akrab, karena perdamaian itu sendiri bagian dari ajaran agama," kata Rais Syuriah Pengurus Beasr Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maghfur Utsman dalam acara dialog dan Temu Tokoh Agama dan Adat di kantor PBNU, Jakarta, Selasa (11/9).
Acara yang diadakan oleh Pengurus Pusat Lembaga Kajian d<>an Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU itu dihadiri oleh beberapa tokoh agama antara lain dari Konferensi Wali Geraja (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), dan dari Penghayat Kepercayaan.
Pada kesempatan itu Kiai Maghfur menegaskan kembali bahwa konflik antaragama atau yang melibatkan agama sebenarnya tidak berdasar pada ajaran agama. "Yang berkonflik bukan agamanya, tapi manusianya," katanya.
Sekretaris Umum (PGI) Winata Sairin berharap pemerintah bisa menjadi "wasit" yang baik ketika terjadi konflik yang melibatkan agama-agama.
Mudji Sutrisno dari KWI menyatakan, umat beragama di Indonesia menanggung beban sejarah masa lalu. Konflik mudah saja terjadi ketika umat beragama diingatkan dengan perseteruan antaragama yang terjadi pada masa lampau.
Aspek politik, lanjut Romo Muji, juga menjadi faktor utama konflik antar agama. "Pada masa reformasi, politik memang menempuh semua gerak, termasuk agama," katanya.
Sementara itu Retno Gunawan dari Penghayat Kepercayaan Kapribaden lebih banyak berkisah tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada masa Orde Baru karena para penghayat dipaksa masuk kepada salah satu agama yagn ditetapkan oleh pemerintah.(nam)