Jakarta, NU Online
Apapun bentuk yang diinginkan atas organisasi Ansor, mau organisasi massa maupun kader, soal kualitas sudah tidak dapat ditawar lagi. Ansor harus berorientasi kualitas. Karena pengertian ‘organisasi massa’ pada saat Gerakan Pemuda (GP) Ansor didirikan sudah mengalami perluasan pengertian. ‘Massa’ pada saat ini bisa diasosiasikan media yang mengelilingi organisasi atau institusi.
“Karena perluasan makna itu, maka seseorang yang menginginkan dirinya menjadi presiden, bahkan pada saat menjadi presiden, dia membutuhkan dukungan dari pemimpin media massa. Jadi jangan heran bila seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum menjadi presiden perlu lebih dahulu mendatangi pemimpin media seperti Harian Kompas, misalnya,” papar Khatib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr. Nazarudin Umar menanggapi sanggahan peserta diskusi yang mengganggap bahwa Ansor sudah ditakdirkan sebagai organisasi massa, bukan kader.
<>Selain Nazarudin Umar, diskusi yang diselenggarakan Forum Anak Muda Nahdlatul Ulama (FAM NU) di Gedung PBNU lantai 5, Rabu (30/03) untuk menyambut Kongres GP Anshor Ke-13 juga dihadiri Enceng Shobirin Nadj pembicara dari LP3ES, dan Adnan Anwar yang bertindak sebagai moderator. Sementara dari peserta yang hadir dalam diskusi yang mengangkat topik “Mengembalikan Ansor Menjadi Organisasi Kader” antara lain, H. Arvin Hakim Thoha kandidat Ketua Umum GP Ansor, Baidlowi Adnan mantan wartawan Harian Pelita dan pengurus Ansor tahun 1970-an, Malik Haramain, puluhan aktivis pemuda dan sejumlah wartawan.
Namun demikian, khatib aam Syuriyah PBNU yang akrab dipanggil dengan Nazar ini tetap mengakui bahwa semula GP Ansor berdiri sebagai organisasi massa. Bahkan dia juga membenarkan bila kalangan masyarakat petani merupakan basis utama dari organisasi pemuda yang berdiri pada 1936 ini. Hanya saja, kata Nazar, dalam 10 tahun terakhir, Ansor tampak mengalami kemandekan, alias tidak menunjukkan perkembangan berarti. Apa pasalnya penyebab kemandekan yang menimpa Ansor? Menurut Nazar, perluasan makna dari “massa” dari sekumpulan orang-orang yang mengikatkan diri secara sosial dan politik, kini terdistribusi kekuatannya pada media. Celakanya, penyerapan otoritas politik tersebut sering tidak kita sadari.
“Agar staknasi itu tidak berlanjut, orientasi GP Ansor harus diubah dari kuantitas ke kualitas. Sedikit, kalau mampu membangun jaringan sosial ekonomi yang besar dan bermanfaat bagi NU, dan bangsa, itu kan lebih baik,” ulasnya.
Nazar pun menyontohkan, kita bisa melihat pemuda PAS, atau UMNO di Malaysia, secara kuantitas tidak terlalu banyak, tapi kemampuan orang per orang membangun jaringan nasional mereka dan internasional sangat luar biasa.
Karena itu, menurut Nazar, dalam hal pendidikan kepemimpinan, berdasarkan orientasi kualitas, Ansor tidak harus menjadi pemimpin formal, sebab asal mengakar kuat di masyarakat, kepemimpinan informal pun akan sangat berarti secara ekonomi dan politik untuk Ansor sendiri maupun bangsa.
Agak berbeda dengan Nazar, Enceng Shobirin Nadj justeru mengajak Ansor untuk memilih membesarkan kedua-duanya, yaitu memperbanyak anggota dan juga kualitas kader. “PAN karena dia sudah declare sebagai organisasi kader, ya dia tidak bisa besar, tetap akan kecil seperti itu. Ini tentu berbeda dengan PKB, dia memperhatikan massa dan kader secara bersama-sama. Karena massa dan kader dianggap sama-sama penting, maka organisasinya akan terus membesar, kualitas kadernya juga akan terus meningkat,” katanya menandaskan.
Agar penggabungan orientasi keduanya dapat mencapai hasil maksimal, Enceng mengusulkan agar dalam menjalankan kinerja organisasi, ada diferensiasi secara bijaksana. “Harus ada diferensiasi kerja antara lapisan kepengurusan tingkat tinggi dengan mereka yang berada pada level bawah. Jadi kepengurusan di level tertinggi memikirkan kebijakan dan persoalan-persoalan strategis, sedangkan mereka yang di level bawah bisa berbasah-basah kuyup,” ujar Enceng. (Dul)