Ramai Bendera One Piece, Begini Peran Bendera Hitam dalam Revolusi Abbasiyah
Sabtu, 2 Agustus 2025 | 14:00 WIB
Dalam beberapa waktu terakhir, jagat maya dan dunia nyata diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut "One Piece" di berbagai tempat, mulai dari tiang rumah hingga tiang kapal nelayan. Bendera bergambar tengkorak dengan dua tulang bersilang ini, yang dalam cerita animenya menjadi lambang kebebasan dan perlawanan terhadap tirani, rupanya menyentuh sisi emosional banyak orang, khususnya generasi muda.
Ia bukan sekadar simbol fiksi, melainkan penanda identitas kolektif yang menyuarakan impian, keberanian, dan semangat melawan ketidakadilan. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa bendera, dalam banyak budaya dan sejarah, memiliki kekuatan simbolik yang mampu menggerakkan massa dan menyalakan semangat perubahan.
Jika kita melihat ke dalam peradaban Islam, bendera bukan sekadar kain yang dikibarkan. Ia adalah penanda identitas, semangat, dan sikap politik. Di antara semua warna panji yang pernah digunakan umat Islam, bendera hitam yang diusung Dinasti Abbasiyah memiliki muatan simbolik paling kuat. Ia lahir dari rahim perlawanan terhadap Dinasti Umayyah. Muncul karena duka, kemarahan, dan cita-cita pembebasan atas kezaliman. Panji ini bukan hanya kain berwarna gelap. Ia adalah luka sejarah yang menjelma menjadi seruan revolusi.
Baca Juga
Warna dan Bentuk Bendera Nabi Muhammad
Latar belakang munculnya bendera hitam bermula dari ketidakpuasan mendalam terhadap Dinasti Umayyah. Kekuasaan yang semula berbasis pada prinsip syura dan kesetaraan berubah menjadi monarki turun-temurun. Ketegangan antara keluarga Bani Umayyah dan Bani Hasyim, keturunan Nabi Muhammad, makin membara. Puncaknya terjadi ketika cucu Nabi, Husain bin Ali, dibantai di Karbala pada 680 M. Peristiwa ini menjadi luka kolektif yang membentuk kesadaran politik kelompok Syiah dan para pendukung Bani Abbas.
Dalam narasi yang berkembang, warna hitam dikaitkan dengan duka atas pembunuhan Husain dan keluarganya. Gerakan bawah tanah yang mendukung keluarga Nabi kemudian mengadopsi warna hitam sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Umayyah. Kelompok ini dikenal sebagai "al-Musawwidah", artinya para pembawa panji hitam. Gerakan ini awalnya terpusat di Khurasan, wilayah timur kekuasaan Islam, yang relatif jauh dari pusat kendali Umayyah di Damaskus dan menjadi tempat subur bagi pembentukan opini revolusioner.
Tokoh sentral dalam gerakan panji hitam adalah Abu Muslim al-Khurasani. Ia menjadi pemimpin militer yang karismatik dan berhasil memobilisasi rakyat Khurasan dengan semangat pembelaan terhadap Ahlul Bait. Dalam setiap ekspedisi militernya, pasukan Abu Muslim membawa bendera hitam dan menyebarkan pesan bahwa kekuasaan harus dikembalikan kepada keluarga Nabi. Revolusi ini tidak hanya berbasis pada klaim kekerabatan, tapi juga memperjuangkan keadilan sosial bagi kelompok non-Arab (mawali) yang selama ini terpinggirkan dalam sistem Umayyah.
Adz-Dzahabi mengutip salah satu syair revolusi Abu Muslim al-Khurasani dalam Siyaru A'lamin Nubala sebagai berikut:
ذَرُونِي، ذَرُونِي مَا قَرَّرْتُ فَإِنَّنِي
مَتَى مَا أَهْجُ حَرْبًا تَضِيقُ بِكُمْ أَرْضِي
وَأَبْعَثُ فِي سُودِ الْحَدِيدِ إِلَيْكُمْ
كَتَائِبَ سُودًا طَالَمَا انْتَظَرَتْ نَهْضِي
Artinya, "Biarkan aku diam dalam badai yang kutahan,
Karena bila kugelorakan perang, bumi sempit bagimu, tak berampun.
Kan kukirim besi hitam dari bara dendam yang kupangku,
Pasukan hitam, yang sejak lama menanti aku bangkit dan menyapu." (Adz-Dzahabi, Siyaru A'lamin Nubala, [Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 2001], juz 6, h. 48).
Syair ini adalah bentuk puisi politik-revolusioner dari al-Khurasani yang merupakan bagian dari mobilisasi simbolik menjelang tumbangnya Bani Umayyah. Bait-baitnya mengandung unsur ancaman militer, propaganda warna (simbolik), dan pembentukan identitas kolektif revolusi Abbasiyah. Penyebutan warna hitam pada syair ini bukan tanpa makna. Ia adalah bentuk perlawanan simbolis.
Sejak berdirinya Dinasti Abbasiyah hingga periode kekuasaan Khalifah Al-Amin, bendera hitam menjadi identitas politik sekaligus perlawanan terhadap kekejaman rezim Umayyah terhadap Ahlul Bait. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyampaikan:
أَوْ بِمَا اخْتُصَّ بِهِ الْخَلِيفَةُ مِنَ الْأَلْوَانِ لِرَايَتِهِ كَالسَّوَادِ فِي رَايَاتِ بَنِي الْعَبَّاسِ، فَإِنَّ رَايَاتِهُمْ كَانَتْ سُودًا حُزْنًا عَلَى شُهَدَائِهِمْ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ، وَنَعْيًا عَلَى بَنِي أُمَيَّةَ فِي قَتْلِهِمْ، وَلِذَلِكَ سُمُّوا الْمُسَوِّدَةَ.
Baca Juga
Hukum Hormat Bendera Merah Putih
Artinya, "... seperti warna hitam milik Bani Abbas. Sebab, panji mereka berwarna hitam sebagai simbol duka atas syuhada dari keluarga Bani Hasyim dan sebagai bentuk kecaman terhadap Bani Umayyah atas pembunuhan tersebut. Karena itu, mereka dijuluki al-Musawwidah (pengibar panji hitam)." (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2020], hlm. 202)
Dalam kutipan ini, Ibnu Khaldun menyoroti bahwa warna hitam pada panji Bani Abbas (Dinasti Abbasiyah) bukan sekadar ornamen. Lebih dari itu, ia adalah lambang perlawanan simbolis terhadap rezim Dinasti Umayyah. Warna hitam melambangkan duka atas darah syuhada Bani Hasyim dan menjadi penanda ideologis revolusi Abbasiyah.
Panji hitam menjelma menjadi lambang penderitaan dan legitimasi politik yang menyatukan pasukan serta memperkuat identitas oposisi. Simbol ini menegaskan bahwa setiap bendera membawa narasi kekuasaan, luka sejarah, dan aspirasi perubahan.
Simbol Revolusi ke Lambang Negara
Pada tahun 750 M, revolusi itu mencapai klimaksnya. Pasukan panji hitam berhasil menggulingkan Khalifah Marwan II, penguasa terakhir Dinasti Umayyah. Di Kufah, Abul Abbas as-Saffah dinobatkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Sejak saat itu, bendera hitam tidak lagi sekadar simbol revolusi, melainkan menjadi lambang resmi negara. Warna hitam digunakan dalam pakaian, panji, hingga pelana kuda, menjadi identitas visual rezim Abbasiyah. Ini adalah pertama kalinya simbol revolusioner diangkat menjadi atribut negara.
Penggunaan warna hitam oleh Abbasiyah tidak berdiri sendiri. Ia merupakan antitesis dari simbol Dinasti Umayyah yang identik dengan warna putih. Dengan mengadopsi warna hitam, Abbasiyah ingin menunjukkan pembalikan arah sejarah dan klaim legitimasi baru.
Dalam banyak sumber, disebutkan bahwa panji hitam juga menjadi bentuk berkabung atas syuhada dari keluarga Hasyim, sekaligus peringatan keras terhadap kekejaman Umayyah. Maka, simbol ini memuat beban emosional, ideologis, dan politis sekaligus.
Selama lebih dari enam dekade pertama kekuasaan Abbasiyah, panji hitam tetap menjadi elemen utama dalam setiap parade, upacara, dan ekspedisi militer. Khalifah Abu Ja'far al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid, dan al-Amin mempertahankan simbol ini tanpa perubahan.
Di balik keberlangsungan simbol tersebut, terdapat konsistensi ideologis bahwa Abbasiyah adalah kelanjutan dari perjuangan keluarga Nabi. Namun, semuanya mulai berubah ketika al-Ma'mun naik takhta setelah konflik saudara yang berdarah.
Al-Ma'mun, putra Harun ar-Rasyid, menang dalam perang saudara melawan saudaranya, al-Amin, dan menjadi khalifah pada 813 M. Setelah berkuasa, al-Ma'mun mengambil langkah kontroversial dengan mengganti warna simbol kekhalifahan dari hitam menjadi hijau.
Warna ini diasosiasikan lebih kuat dengan Syiah dan Ahlul Bait. Langkah ini diduga untuk meredam ketegangan sektarian dan merangkul kelompok-kelompok pro-Syiah yang sebelumnya kecewa dengan praktik politik Abbasiyah yang pragmatis. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 202).
Namun, keputusan al-Ma'mun tidak bertahan lama. Setelah masa pemerintahannya, para khalifah Abbasiyah berikutnya tidak konsisten mempertahankan warna hijau sebagai simbol kekuasaan. Sebagian kembali pada hitam, sebagian mengabaikan simbol warna dan lebih fokus pada konsolidasi kekuasaan regional. Fakta ini menunjukkan bahwa simbol panji tak lagi menjadi penanda utama legitimasi politik, melainkan bergeser menjadi ornamen administratif atau seremoni belaka. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 202).
Jadi, bendera hitam pada masa Abbasiyah tidak lahir dari kekosongan. Ia tumbuh dari luka sejarah, ketidakadilan, dan semangat perubahan. Dalam konteks Abbasiyah, ia bukan hanya kain yang berkibar, tapi narasi yang menghidupkan kembali harapan tentang pemerintahan yang adil. Ketika simbol itu berubah menjadi atribut kekuasaan resmi, maknanya pun perlahan bertransformasi. Dari api revolusi menjadi ornamen kekuasaan. Namun warisan simboliknya tetap hidup dalam memori sejarah Islam.
Walhashil, bendera hitam adalah pengingat bahwa simbol tidak pernah netral. Ia bisa menjadi alat perjuangan sekaligus alat dominasi, tergantung siapa yang mengibarkannya dan untuk tujuan apa. Dalam sejarah Abbasiyah, panji hitam muncul sebagai wujud perpaduan antara kesedihan dan harapan, antara duka masa lalu dan cita-cita masa depan, hingga pecahnya revolusi. Maka, memahaminya berarti menelusuri bukan hanya sejarah politik, tapi juga sejarah emosi dan imajinasi umat Islam yang terus berkembang.
Ustadz Muhamad Abror, Penulis Keislaman dan Sejarah Abad Klasik.