Pesantren ini berlokasi di Dusun Kermin Wetan Desa Sumber Kerang Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo. Tidak ada papan nama yang dipajang di kawasan pesantren tersebut. Asramanya juga kurang mencerminkan sebagai tempat para santri bermukim dan belajar. Selain itu juga tidak ada aktivitas santri yang bisa dilihat dari luar rumah.<>
“Kami sengaja tidak memasang papan nama sejak pesantren berdiri pada 14 tahun silam. Nama resmi pesantren ini adalah Iqra’. Tetapi warga sekitar lebih tahu nama pesantren ini As-Syifa’ Dulu Abah (KH Ahmad Nizar Jakfar) member nama seperti itu. Tetapi saya member nama Iqra,” ujar Pengasuh Pesantren Iqra’ KH. Ahmad Syifa’ Jakfar, Jum’at (24/10).
Pengasuh yang biasa disapa Non Syifa’ ini menerangkan pada awalnya bukan pesantren yang didirikan, tetapi Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) yang didirikan pada 1 Januari 2000 silam. Santri pertamanya adalah putra pertama pasangan suami istri (pasutri) ini yang bernama Agus Nidhomuddin.
Sehari kemudian, ada tetangga yang menitipkan anaknya untuk belajar mengaji. “Istri saya yang mengajar santri waktu itu. Kebetulan saya sendiri tidak telaten menghadapi anak kecil,” terangnya.
Rupanya pendirian TPQ ini mendapatkan sambutan yang luas biasa dari warga sekitar. Dalam waktu 3 bulan, jumlah santri yang mengaji lebih dari 100 orang. Nyai Awifa pun kewalahan. Sehingga direkrutlah beberapa guru ngaji untuk ikut membantu mengajar.
“Waktu itu ruang tengah, tamu dan kamar tidur rumah ini difungsikan untuk tempat belajar mengajar. Ya karena banyaknya santri,” tutur lelaki kelahiran tahun 1964 ini.
Menurut sulung dari 5 bersaudara ini, santrinya hanya belajar pada sore dan malam hari, tetapi tidak bermukim. Berikutnya pada 3 Agustus 2000, Non Syifa’ kedatangan 3 orang warga setempat. Mereka berniat menitipkan putrinya untuk menjadi santri mukim. Nama 3 santri itu Jamila, Hosnawati dan Iis.
Awalnya Non Syifa’ kurang sreg menerima ketiga santri itu untuk mukim. Sebab ia tidak punya tempat untuk menampung santri mukim. Namun karena orang tuanya sedikit memaksa, akhirnya diterima dan ditempatkan di salah satu kamar tidur rumahnya. “Keluarga saya pun berbagi kamar mandi. Ya dipakai keluarga dan para santri,” terangnya.
Pada perjalanannya, jumlah santri terus meningkat. Saat ini yang mukim sudah mencapai 60 orang, baik santriwan maupun santriwati. Non SYifa’ menyebutkan perkembangan jumlah santri itu sebenarnya sedikit lambat. Sebab ia tidak punya asrama memadai untuk para santri.
Saat ini sudah ada 6 kamar untuk santriwati. Sementara santriwan bermukim di sebuah ruangan luas tanpa sekat. Non Syifa’ berkomitmen untuk tidak membatasi santri yang akan masuk pesantren. “Untuk membangun kamar santri yang ada sekarang ini, saya pinjam ke bank. Jaminan sertifikat tanah yang saya tempati ini,” tutur putra sulung dari KH Ahmad Nizar Jakfar dan Nyai Hj. Aminah ini. (Syamsul Akbar/Anam)