Tujuan menciptakan santri berkualitas, harapannya tidak hanya berguna untuk pribadi santri. Melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, dalam menanggapi masalah remaja seperti pergaulan bebas dan narkoba. Hal itulah yang menjadi perhatian Ahmad Abdul Qodir, calon penerus Pondok Pesantren Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (SAQA) Desa Rangkang Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo.
Pondok Pesantren SAQA didirikan pada tahun 1989 oleh KH Abdul Hafidz Aminuddin yang merupakan kakak kandung mantan Bupati Probolinggo H. Hasan Aminuddin. Dia merupakan alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Setelah itu, Kiai Hafidz melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Salafiah Pasuruan. Hingga kini, Kiai Hafidz masih intensif mengajar santri putra-putri.
Saat ini Gus Qodir, sapaan akrab Ahmad Abdul Qodir, sudah menyelesaikan proses belajarnya di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Dia mondok di Sidogiri sejak lulus SD. Sembilan tahun lamanya ia habiskan untuk nyantri di pesantren yang terkenal itu. Meski usianya baru 22 tahun, tapi kemampuannya dalam mengajar sudah cukup mumpuni.
Gus Qodir mulai aktif mengajar sejak ia merampungkan pendidikannya pada 2015 lalu. Ia juga turut serta dalam proses pembelajaran di pesantren. Hubungan antara Pondok Pesantren Sidogiri dengan Pondok Pesantren SAQA memang sangat erat. Apalagi, baru-baru ini Gus Qodir menikahi salah satu putri kiai Pondok Pesantren Sidogiri.
Gus Qodir mengatakan, untuk mencetak santri yang baik, budi pekertilah yang harus ditata terlebih dahulu. “Karena saat ini, budi pekerti menjadi sifat yang harus lebih ditekankan lagi. Apalagi dengan banyaknya remaja yang terjangkit virus narkoba dan globalisasi,” katanya, Selasa (5/7).
Dengan santri yang memiliki berbudi pekerti, maka dipastikan akan mengikis pengaruh pergaulan muda-mudi saat ini yang cenderung negatif. Misalnya, pergaulan bebas atau free sex maupun penyalahgunaan narkoba. Setidaknya, alumnus Pondok Pesantren SAQA menurutnya, harus mampu menjadi pelopor.
Untuk mencetak generasi yang berbudi pekerti, satu-satunya cara yang dilakukan yakni menghabiskan waktu anak-anak muda dengan kegiatan ibadah. Karenanya, rutinitas ibadah seperti shalat wajib dan sunah serta ilmu agama lainnya intensif diajarkan di pesantren tersebut.
“Shalat tahajjud berjamaah setiap malam dan manaqib, sudah dilakukan sejak pertama kali ponpes didirikan. Dan, ini akan menjadi ciri khas pondok pesantren yang harus dipertahankan, terlebih oleh para santri,” ujar putra tunggal Kiai Abdul Hafidz Aminuddin itu.
Sistem pendidikan yang diterapkan SAQA, tidak hanya pendidikan salaf saja. Pendidikan formal juga sudah ada. Ada sekitar 10 sekolah formal yang berada di bawah naungan yayasan pesantren tersebut. Mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi. Khusus perguruan tinggi, Pondok Pesantren SAQA bekerja sama dengan Universitas Terbuka (UT) Jember.
Gus Qodir menjelaskan, penerapan pendidikan formal disesuaikan dengan tuntutan zaman. “Sebelumnya sistem pendidikan yang diterapkan murni pondok pesantren salaf. Tapi, sejak tahun 2000-an, mulai ada dua sistem pendidikan yaitu formal dan nonformal. Pendidikan nonformal terdiri atas madin dan kitab kuning Fatkhul Qorib. Sedangkan pendidikan formal, terdiri atas 10 sekolah itu,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)