Lolos Lomba Karya Tulis, Santri Cantik Ini Ingin Jadi Peneliti
Kamis, 27 November 2014 | 13:06 WIB
Jakarta, NU Online
Ada yang menarik dari seminar pengembangan Karya Tulis Ilmiah Santri (KTIS) beberapa hari lalu. Pasalnya, di antara kesepuluh penulis dari pesantren ini ternyata ada yang masih duduk di bangku Aliyah (setingkat SMA). Ya, santri cantik bernama Siti Afifah Adnan (17) ini tercatat sebagai santri kelas VI Pesantren Putri Ibnul Qoyyim Yogyakarta.
<>
Afifah merupakan nominator termuda KTIS yang diselenggarakan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Puspenda) Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Di usianya yang ke-17, gadis mungil yang cerdas ini telah memiliki karya di tingkat nasional.
Kepada NU Online, dara kelahiran Bogor, 9 Januari 1997 ini mengaku sangat mencintai dunia tulis-menulis sejak mulai mondok di Yogyakarta. Selain menulis, ia aktif juga di organisasi santri di pesantrennya. Afifah mulai mengenal dunia tulis-menulis itu dari Sagasitas atau komunitas peneliti muda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sagasitas, lanjut Afifah, adalah suatu komunitas di bawah naungan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) yang berfungsi sebagai sebuah rumah dan wadah bagi siswa dan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan siswa.
“Kegiatan yang dilakukan dalam komunitas ini salah satunya adalah melakukan berbagai penelitian. Sagasitas ternyata tidak hanya berisi peneliti-peneliti muda hebat, namun juga memiliki kemampuan lain yang mengesankan,” tutur dara berkacamata ini.
“Ada seorang kakak senior bernama Mbak Ifa yang mengajarkan sekaligus membimbing saya untuk menulis. Dia alumni Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI),” ungkapnya.
Saat dinyatakan lolos seleksi proposal penelitian KTIS, Afifah merasa senang sekali. Meski demikian, ia melihat ada tantangan dan tanggung jawab berat di pundaknya. “Jadi, empat bulan ke depan sejak pengumuman saya merasa ada tanggung jawab yang harus saya selesaikan, yaitu penelitian,” ujarnya.
Ia merasa bangga sekaligus merasa ada cambuk untuk segera menulis karya ilmiah tersebut. Bagi dia, dengan adanya deadline empat bulan, praktis tak ada waktu bermalas-malasan. “Waktu jadi sangat berharga untuk terus belajar dan belajar,” ucap gadis yang bercita-cita kuliah di UGM dan menjadi peneliti ini.
Menurut Afifah, tantangan dalam menulis adalah susahnya mencari referensi. Ia bahkan rela berkeliling ke beberapa perpustakaan di Kota Pelajar, mulai perpustakaan kampus UGM, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga miliki Pemerintah Kota. Saat pencarian mentok, ia lalu kembali ke perpustakaan pesantren. “Ternyata, di pondok malah ada. Tapi saya jadi senang bisa berkunjung ke perpus besar di kampus,” ujarnya riang.
Dalam menyusun penelitian, Afifah dibantu teman sekelasnya, Zahro, asal Kalimantan Barat. Ia berharap, kegiatan KTIS ini bisa dilaksanakan pada tahun-tahun mendatang. “Adik-adik kelas saya bahkan sudah pada tanya, kapan diadakan lagi. Bahkan, di antara mereka ada yang sudah nulis proposal penelitian,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Mahbib)