Pesantren

Kiai Masyhudi, Dirikan Pesantren karena Mimpi Kiai Sepuh

Jumat, 16 Agustus 2013 | 01:10 WIB

Tepat pada tanggal 15 April 1949 silam, KH. Masyhudi dilahirkan dari keluarga sederhana. Saat usianya masih dua tahun, Kiai Masyhudi sudah menjadi yatim karena ayahnya meninggal. Akhirnya, dirinya hanya berdua bersama ibunya. Menginjak usia remaja, ibunya memondokkannya ke Pesantren Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo.<>

Sosok sederhana yang dikenal dengan julukan Kiai Barongan ini pun menjalani kehidupan di Pesantren Zainul Hasan Genggong selama 22 tahun. Selama 11 tahun ibunya membiayai kebutuhan hidupnya di pesantren.

Namun karena merasa kasihan, kemudian dirinya tidak lagi meminta biaya. Hal ini dikarenakan Kia Barongan kecil kemudian menjadi khadam dengan mengabdi kepada KH. Hasan Saifourridzal, salah satu Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong selama 11 tahun berikutnya.

Selama pengabdiannya tersebut, Kiai Masyhudi pernah disuruh puasa oleh Kiai Hasan Saifourridzal selama satu tahun. Setelah genap satu tahun, dirinya menghadap kepada Kiai Hasan Saifourridzal, kemudian disuruh puasa lagi satu tahun.

Setelah selesai puasa, menghadap lagi kepada Kiai Hasan Saifourridzal dan malah disuruh tambah lagi satu tahun. Akhirnya genap puasanya selama 3 tahun. Setelah selesai, dirinya menghadap lagi dan malah mendapat tugas baru.

“Ud (panggilan Kiai Masyhudi waktu kecil), kamu jangan menikah dulu. Sebab kamu harus ngaji ke Kudus selama tiga tahun,” ungkapnya menirukan perintah Kiai Hasan Saifourridzal kepadanya. Setelah merampungkan tugas, dirinya berpamitan untuk berhenti dari pesantren dan direstui oleh Kiai Hasan Saifourridzal.

Setelah keluar dari Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kiai Masyhudi berusaha mempertahankan hidup dengan mencari kerja. Namun, karena bekal ijasah hanya lulusan Madrasah Aliyah (MA), pekerjaanpun sulit didapat.

Dua tahun setelah keluar dari pesantren, Kiai Masyhudi malah dinikahkan dengan seorang gadis bernama Hafsawati. Pernikahan tersebut diselenggarakan di Desa Tanjungsari Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo.

Dari pernikahan tersebut, Kiai Masyhudi dikaruniai dua putrid. Yaitu, Syifaul Millah dan Isnainir Rohmah serta satu putra Muhammad Taufiqurrahman yang sekarang masih melanjutkan studi di Yaman. “Dia harus menimba ilmu ke Yaman supaya memiliki bekal untuk mengasuh dan membina santri,” terangnya.

Setelah kehidupan keluarganya membaik, Kiai Masyhudi mendirikan rumah dan menetap di Desa Tanjungsari Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo. Selang beberapa waktu, Kiai Hasan Saifourridzal datang bersilaturrahim. Namun melihat pakaian yang dikenakan oleh tuan rumah, Kiai Hasan Saifourridzal menegurnya. “Ud, kamu itu santri Pesantren Zainul Hasan Genggong. Mengamalkan tasawwuf itu tempatnya di dalam hati, bukan dengan pakaian compang-camping begini,” kenang Kiai Masyhudi.

Sebelum kembali ke Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kiai Hasan Saifourridzal memberi ijazah kepada Kiai Masyhudi sebuah amalan untuk berpuasa selama 41 hari. Setelah dijalani puasa selama 41 hari tersebut, Kiai Masyhudi bermimpi bertemu KH. Muhammad Hasan Genggong.

Dalam mimpi tersebut, Kiai Muhammad Hasan berseru padanya, “Ya Masyhudi, ta’al, Masyhudi! Singgasanamu sudah habis dan kamu harus banyak istighfar!,”.Seketika itu, Kiai Masyhudi terbangun dan tertegun.

“Saat itu saya tertegun dan berfikir entah saya punya dosa apa? Saya berusaha mengingat dosa-dosa apa kiranya yang membuat Kiai Sepuh menegur dengan keras kepada saya. Dan dugaan saya adalah dosa-dosa selama di pesantren. Seperti ghoshob (menggunakan hak milik orang lain tanpa ijin, tetapi kemudian dikembalikan lagi) dan lain-lain. Maklum dunia santri,” tegasnya.

Karena mendapati mimpi seperti itu, pagi harinya Kiai Masyhudi sowan kepada Kiai Hasan Saifourridzal. Belum sempat bersalaman, Kiai Hasan Saifourridzal langsung menyuruhnya ke maqbaroh Kiai Hasan Sepuh. “Kamu tidak perlu kesini, saya sudah tahu mimpimu. Langsung saja ke maqbaroh,” tuturnya menirukan ucapan Kiai Hasan Saifourridzal kala itu.

“Tidak disangka, setelah pulang dari maqbarohnya Kiai Hasan Sepuh (KH. Muhammad Hasan) saya ada tamu, namanya Hozin. Ternyata dia mau menjadi santri saya,” tuturnya. Tetapi baru beberapa bulan, Hozin ternyata tidak betah dan pamit mau pulang. “Saya memaklumi, mungkin karena tempatnya dipinggir hutan, dia juga sendirian tidak ada teman,” ungkapnya.

Setelah tiga minggu, ternyata Hozin datang lagi dan mengajak temannya. “Namanya Abdullah, dari dua santri ini akhirnya saya mendirikan pesantren meskipun awalnya sederhana. Saya dirikan pesantren ini karena bermimpi Kiai Hasan Sepuh,” tuturnya sambil mengenang masa awal pendirian pesantrennya.

Kini pesantrennya yang diberi nama Pesantren Darut Tauhid berkembang sangat pesantren. Hingga kini santrinya sudah mencapai 600 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah mulai dari Jakarta hingga luar Jawa. Tidak hanya belajar ilmu di lembaga non formal, para santrinya juga menuntut ilmu di lembaga formal yang dimilikinya. (Syamsul Akbar/Red:Anam)


Terkait