Opini

Terancam Ambruk, Ada Apa dengan Bank Muamalat?

Sabtu, 24 Februari 2018 | 11:45 WIB

Terancam Ambruk, Ada Apa dengan Bank Muamalat?

Ilustrasi (bisnis.com)

Oleh Muhammad Syamsudin

Headline surat kabar dan trending topic berita media online ternama saat ini adalah kabar tentang terancam ambruknya Bank Muamalat Indonesia. Sangat mengejutkan dan ironis sekali. Bagaimana tidak? Bank Muamalat adalah bank dengan rekor tertua di Indonesia yang mengambil jalur ekonomi syariah sehingga merupakan ikon produk ekonomi syariah di Indonesia sejak era 1991-an. Setelahnya ada Bank Syariah Mandiri yang menempati urutan kedua.

Jika manusia, semakin tambah tua harusnya semakin bertambah dewasa dan pandai dalam menyelesaikan persoalan, akan tetapi tidak demikian yang dialami Bank Muamalat. Bermunculannya lembaga pembiayaan yang menawarkan basis ekonomi syariah namun juga dengan rekor tercepat melakukan buka dan tutup (open dan sekaligus close) lembaga tersebut setidaknya menyisakan pemikiran bagi para pengamat ekonomi syariah nasional.

Bagaimana mungkin ekonomi syariah justru tidak menawarkan profit, akan tetapi justru malah mengalami kerugian? Harusnya al-islaamu ya’lu wa laa yu’laa ‘alaihi (Islam itu luhur dan tidak ada yang mengunggulinya). Kesannya adalah sustainabilitas (keberlanjutan) dari ekonomi syariah justru tidak menawarkan jaminan keamanan dana. Memang ada kemungkinan bahwa Bank Muamalat—sebagai pelaku yang masih mencari jati diri, keberadaannya dipermainkan oleh para investor. Semoga saja tidak demikian adanya.

Dalam sebuah tajuk berita harian surat kabar besar di Indonesia (22/2) dikabarkan bahwa penyebab terancam ambruknya Bank Muamalat adalah karena rasio kondisi Non Performing Financing(NPF) yang terlalu besar. NPF atau biasa dikenal sebagai Non Performing Loan (NPL), adalah sebuah rasio pembiayaan bermasalah (kredit macet) yang terlalu besar. Batas ukuran sehat atau tidaknya perbankan mengalami kredit macet, sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia, adalah sebesar 5.0% dari seluruh kredit yang ada. Perhitungan angka ini didapat dari hasil perbandingan antara jumlah kredit macet dibagi dengan total kredit yang ada. Misalnya ada 1000 kredit, maka jumlah poin kredit macet adalah sebanyak 50 poin pembiayaan, yang berasal dari kredit yang diduga macet, potensi macet, atau kurang lancar. 

Catatan berdasarkan hasil pemberitaan Detik. com, diketahui bahwa Gross NPF Bank Muamalat sebesar 7.01% di tahun 2015, turun 4.43% di tahun 2016 dan meningkat kembali sebesar 0.11% menjadi 4.54% tahun 2017. Adapun terkait dengan rasio Net NPF mengalami peningkatan sebesar 3.07%, yang naik dibanding periode sebelumnya sebesar 1.92%. Berdasar data Gross NPF tahun 2017 ini, ini berarti dari 1000 totalpembiayaan, terdapat 45.4poin kredit yang menunggak pengembalian modalnya ke Bank Muamalat. Sebuah angka yang fantastis untuk kategori bank dengan identitas syariah, meskipun tetap berada di bawah ambang kritis rasio bila dibandingkan dengan batas toleransi NPF yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 5%. Hal ini yang mendorong Bank Muamalat berusaha menarik investor baru. Akhir tahun 2017, telah masukcalon-calon investor baru yang bersedia menyuntikkan dananya sebesar 4.5 Trilyun rupiah, yang salah satunya adalah Minna Padi. Meskipun, perkembangan terakhir menyebutkan batalnya Minna Padi masuk dalam jajaran pembeli siaga (stand by buyer) per 31 Januari 2018. Kabar ini sebagaimana dilansir oleh Harian Republika yang terbit pada tanggal 8 Februariyang lalu, dan hingga kini, pihak bank masih mencari investor lain. 

Data statistik 7,01%,, 4.43% dan 4.54% ini setidaknya memberi kesan beberapa hal terkait dengan debitur bank atau sistem yang memayungi bank itu sendiri. Label syariah ternyata tidak cukup ampuh untuk menekan angka tunggakan kredit. Standar etis ternyata belum sepenuhnya bisa dijadikan sebagai bahan patokan, khususnya bila dihadapkan ke masyarakat modern yang cenderung konsumeris, pasti, dan ketat- dewasa ini. 

Angka riel dan instrumen riel perhitungan bunga pada bank konvensional serta nisbah rasio bagi hasil pada bank syariah, bisa jadi membutuhkan pemikiran ulang. Prinsip dasar syariat (maqashidu al-syariah) agama Islam adalah juga perintah menjaga keadilan (al-‘adalah). Kontroversi bunga bank konvensional yang pernah dibahas dalam forum bahtsul masail Situbondo, sudah seyogyanya didekati dengan pendekatan penetapan “indeks keadilan” yang berbasis keamanan lembaga dari sisi funding dan financing-nya.

Standar etis tiap debitur adalah senantiasa variatif. Adakalanya ditemui debitur yang nakal, ada pula debitur yang respek dan tanggung jawab terhadap kewajibannya. Di sisi lain, ada pula debitur yang dalam kondisi pailit. Langkah antisipatif terhadap beberapa kondisi debitur tersebut selama ini didekati dengan statistik. Sayangnya, nilai yang muncul kemudian divonis sebagai nisbah riba yang haram. Di satu sisi memang ada benarnya pelarangan tersebut karena sesuai dengan bunyi teks dhahir larangan syariat.Namun pertimbangan sisi maslahah tentu tidak boleh diabaikan juga. Andai wujud nilai statistik ini benar, sudah barang tentu perjalanan usaha selama 27 tahun Bank Muamalat sudah cukup untuk bisa memprediksi dengan tepat calon debitur yang potensial dan tidak. Namun realitanya, instrumen statistik ternyata tidak mampu menangkap indeks keadilan. Sifatnya ternyata adil di atas kertas dan bukan adil dalam realitas.

Rekam jejak seorang debitur juga mutlak harus digali. Mendata pola pergaulan calon debitur dengan dunia usaha dan perbankan merupakan wahana antisipatif bank yang semestinya dicantumkan dalam instrumen survey. Pengembangan instrumen survey dapat menekan laju kredit macet. 

Tidak menutup kemungkinan, bahwa faktor penyebab kepailitan bank syariah selama inijuga disebabkan oleh fatwa yang tidak relevan dengan masyarakat. Ketidak relevanan fatwa dengan kebutuhan penjagaan sekuritas Bank dapat berakibat pada munculnya hambatan sekuritas sistem kelola perbankan. Misalnya, penerapan sangsi bagi debitur yang nakal. Di atas kertas, ada teks larangan pengambilan denda dalam konteks syara’ terhadap debitur yang nakal. Namun, di sisi lain tidak diimbangi dengan bolehnya jabru al manfaah bagi nasabah pailit yang mana konteks ini juga dibolehkan oleh syara’ tidak turut diadopsi dalam sistem. Fatwa yang hanya mewadahi satu sisi penjagaan sementara menisbikan keberadaan bolehnya penerapan teks lain sebagai fungsi jabr, dapat berakibat pada ketimpangan pelaksanaan. Ini setidaknya hanya merupakan contoh saja untuk ditegaskan bahwa perlu peninjauan kembali fatwa sebagai wahana tahqiq fatwa DSN menyesuaikan karakter sosial calon nasabah.

Kebijakan standarisasi nisbah bagi hasil (profit and loss sharing) dengan rasio suku bunga (rate of interest) dalam satu paket aturan oleh Bank Indonesia yang diberlakukan terhadap bank syariah, juga pantas bila dievaluasi kembali. Menyamakan kedua mekanisme funding tersebut adalah sama saja dengan memaksa agar bank syariah bersaing dengan pola gerak sistem ekonomi konvensional. Padahal, antara bank syariah dan bank konvensional memiliki ciri khas yang berbeda antara satu sama lain dalam praktik funding-nya. Ibarat memaksa kereta api harus berlomba kecepatan dengan mobil di atas rel kereta api. Sudah bisa dipastikan mobil akan kalah. Demikian pula sebaliknya, memaksa kereta api berjalan di jalanan aspal. Standarisasi kebijakan dengan paket satu timbangan sistem ekonomi konvensional masih dirasa bukan kebijakan yang arif.

Faktor lain penyebabterpuruknya Bank Muamalat dari sisi pembiayaan bisa jadi juga diakibatkan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia - dari masa ke masa pergantian pemimpin – yang nampaknya kurang mendukung terhadap diversifikasi operasional ketahanan finansial Indonesia. Kebijakan ekonomi yang sentralistik dengan peran Bank Indonesia sebagai pusat kesatuan layanan dengan satu paket aturan yang disamaratakan untuk kedua jalur, hanya akan menghasilkan tumpukan modal yang menguntungkan sistem yang mapan, yaitu kapitalis perbankan. Sementara arus baru ekonomi syariah yang masih belajar merangkak hanya merasakan sedikit kemanfaatan. Imbasnya, para investor akan lebih banyak melirik pada yang sudah mapan dibandingkan yang masih potensial. 

Kesimpulan akhir dari tulisan ini, adalah bahwa kredit macet yang terjadi pada Bank Muamalat merupakan bahan renungan bagi kita semua. Banyaknya bank syariah yang tumbang sedari era Menkeu Mar’ie Muhammad di era Presiden Habibie hingga sekarang, setidaknya menjadi bahan evaluasi bagi kita semua, adakah kekeliruan dalam payung hukum syariah Bank Muamalat diakibatkan faktor ketidaktepatan Fatwa DSN, ataukah karena dasar karakter masyarakat debiturnya? Ataukah mungkin karena kurang perhatiannya pemerintah terhadap operasional bank syariah. Sekali lagi, kabar terpuruknya Bank Muamalat merupakan tantangan yang besar bagi kemapanan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Menyelamatkan permodalan Bank Muamalat adalah sama dengan melestarikan peran sentral Bank Muamalat sebagai Bank yang bernilai sejarah bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia untuk yang pertama kalinya. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim


Terkait