Opini

Ramadhan dan Spirit Peradaban Buku

Kamis, 9 Juni 2016 | 10:00 WIB

Oleh M. Haromain

Di antara sekian banyak keistimewaan bulan Ramadhan adalah diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk pertama kalinya pada bulan suci ini. Teristimewanya lagi dan ini juga yang membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci agama lain ialah bentuk atau susunan kalimat pertama dalam Al-Qur’an. Al Qur'anlah satu-satunya kitab suci yang redaksi kalimat pertamanya menggunakan kata perintah (fi'il amar), tidak redaksi kalimat berita (khabariyah). Tidak hanya itu, konten perintah dari kata pertama tersebut sifatnya menggebrak, yaitu perintah membaca. Suatu ajakan yang kini telah terbukti menjadi landasan dan basis untuk membangun peradaban dan kebudayaan.

Perintah membaca ini (iqra') barangkali untuk konteks sekarang terkesan biasa-biasa saja. Tapi pada empat belas abad yang lalu saat Nabi menerima wahyu pertama, perintah tersebut jelas sangat revolosioner, ketika masyarakat Arab jahiliah sama sekali belum mengenal tradisi baca-tulis, melainkan hanya mengandalkan tradisi hafalan. Bahkan Nabi pun dalam menggambarkan kejahiliahan bangsa Arab masa itu pernah bersabda: Orang-orang yang pandai membaca dan menulis dari kalangan bangsa Arab dapat dihitung dengan jari.

Secara eksplisit perintah membaca itu sejatinya mengarahkan umat manusia agar membangun peradaban buku, masyarakat yang memuliakan keberaksaraan, bukan kelisanan yang dangkal, kendati penulisan Al-Qur’an secara sistematis dalam bentuk kodifikasi lengkap baru dimulai pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan.

Komitmen Nabi Muhammad dalam memperjuangkan dan menyadarkan urgensitas budaya literasi bagi umat manusia bisa dijumpai dalam pelbagai usaha dakwah beliau dalam membumikan risalah Islam, salah satunya pada perang Badar. Nabi Muhammad kala itu mensyaratkan mengajar membaca dan menulis kepada sepuluh anak kaum muslimin sebagai tebusan bagi tawanan perang dari pasukan musuh.  

Selanjutnya terang sekali generasi pascawafatnya Nabi, yaitu generasi sahabat, tabi'in dan generasi ulama setelahnya, sangat menyadari hakikat perintah membaca itu untuk terus mengembangkan peradaban buku. Berkat upaya para penerus Nabi generasi awal ini, bersumber dari pembacaan Al-Qur'an lantas mereka berhasil melahirkan bejibun karya dan mengembangkan banyak cabang ilmu. Al-Qur’an menjadi satu kitab yang setelah dieksplorasi kandungannya mampu melahirkan beribu-ribu buku lain dengan aneka disiplin ilmu mulai bahasa, fiqih, tafsir, balaghoh (sastra), usul fiqh, arudh, kalam, tasawuf, dan lain sebagainya.

Pendek kata perintah membaca sebagai wahyu yang pertama kali turun telah menjadi pemantik dan inspirasi bagi lahirnya pelbagai cabang dan disiplin ilmu baru yang tertuang dalam pusparagam khazanah kitab, terlebih puncaknya pada masa periode khalifah Al Ma'mun dari Daulah Abbasiah. Al-Ma’mun yang memang sangat gandrung pada ilmu, terutama filsafat, mencanangkan proyek besar-besaran penerjemahan literatur Yunani ke dalam bahasa Arab, yang pada akhirnya Islam berhasil menjadi kiblat peradaban dunia berkat penghargaan yang sangat tinggi pada budaya literasi.

Penulis bergiat di "Rumah Pena" NU Temanggung dan Kontributor NU online kawasan Kedu


Terkait