Opini

Pemuda Islam dan Komitmen Kebangsaan

Senin, 8 Mei 2017 | 22:00 WIB

Oleh: A Muchlishon Rochmat

Tahun 2011, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) mengeluarkan data yang cukup mencengangkan. Disebutkan bahwa 25% siswa dan 21% guru menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak relevan lagi. Bahkan, 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dan mendukung untuk mendirikan negara yang berdasarkan syariat Islam di Indonesia. 

Di tahun yang sama, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga merilis sebuah penelitian tentang radikalisme di kampus-kampus besar Indonesia. Di situ disebutkan bahwa ada peningkatan paham radikalisme di universitas-universitas elit Indonesia seperti UGM, UI, IPB, Undip, dan Unair. Tahun 2013, penelitian yang dilakukan oleh Ma’arif Institute juga menunjukkan bahwa meluasnya paham radikal di kampus berdampak pada meningkatnya gerakan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. 

Sementara tahun 2015, Pew Research Center menyebutkan bahwa 4% atau setara dengan 10 juta penduduk Indonesia setuju dan mendukung pandangan dan gerakan yang dilakukan oleh ISIS termasuk diantaranya adalah mendirikan negara khilafah Islam di Indonesia. Ironisnya, mayoritas dari empat persen itu adalah pemuda Islam yang berada dalam usia produktif.

Kalau kita simak pemberitaan yang tersebar di media massa akhir-akhir ini, gerakan-gerakan untuk mendirikan khilafah –seperti pawai, seminar, penerbitan buku, menyebarkan propaganda dengan selebaran di masjid-masjid, dan konferensi nasional bahkan internasional- begitu marak dan masif dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Lagi-lagi mayoritas pelakunya adalah pemuda dan pemudi Islam.   

Meski gerakan-gerakan khilafah tersebut mendapatkan penolakan dan kecaman dari berbagai pihak seperti Banser GP Ansor, kepolisian, pimpinan kampus, pejabat, pimpinan beberapa ormas Islam yang moderat, beberapa pejabat negara, dan masyarakat, namun mereka seolah-olah tidak ‘kapok’ dan tidak berhenti untuk mendengungkan konsep khilafah sampai apa yang mereka cita-citakan itu terwujud. 

Bahkan, mereka menawarkan sistem negara khilafah yang berdasarkan syariat Islam dan menghujat Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila secara terang-terangan (tanpo tedeng aling-aling). Mereka tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam berdakwah sebagaimana yang mereka lakukan pada beberapa tahun yang lalu. Menariknya, pemerintah pun menganggap enteng dan terkesan lamban dalam membendung segala macam aktifitas dan kegiatan yang dilakukan oleh gerakan pengusung khilafah itu.  

Meneguhkan Komitmen Kebangsaan
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, memang masih banyak yang mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila jika dibandingkan dengan mereka yang mendukung khilafah. Tetapi, hasil survei di atas tidak bisa dianggap enteng. Apalagi yang disasar adalah remaja dan pemuda Islam –utamanya yang berada di sekolah dan kampus umum. Saya rasa mereka itu seperti ‘virus’. Sekarang kelihatan kecil, tetapi kalau tidak ditangani dengan serius maka mereka akan menyebar dan mempengaruhi ‘organ masyarakat’ yang lainnya.

Kita tidak bisa terus menerus menunggu ‘datangnya bola’, yakni dengan terus melakukan penolakan atas kegiatan yang mereka gelar di berbagai tempat. Saya yakin, mereka akan terus melakukan propaganda-propaganda, baik ke lapisan atas maupun ke masyarakat tingkat bawah (grassroot).   

Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menjaga dan meneguhkan eksistensi Indonesia? Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meredam gerakan pengusung khilafah. Pertama, ketegasan pemerintah. Di beberapa Negara Islam seperti Arab Saudi, Tunisia, Turki, Libya, Yordanis, Mesir, Syuriah, Malaysia, dan lainnya melarang gerakan pengusung khilafah. Mereka tidak diizinkan masuk dan ‘beranak-pinak’ di negara-negara tersebut. 

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia terlihat tidak memiliki ketegasan dalam melarang gerakan-gerakan khilafah. Mereka seakan-akan dibiarkan tumbuh subur dan menggerogoti pondasi kebangsaan kita. 

Kedua, memasifkan gerakan Islam kebangsaan (nasionalisme). Indonesia dibangun dengan semangat kebangsaan dan keberagamaan. Indonesia ada karena adanya perbedaan agama, suku, budaya, dan bahasa. Sedangkan Pancasila adalah pemersatunya (kalimatun sawa’). Sedangkan Islam -sebagai agama mayoritas- menjadi ruh dan semangat dalam menjalankan pemerintahan, bukan menggantikan Pancasila sebagai konsesi bersama. Kalau seandainya Dasar Negara Indonesia berdasarkan golongan tertentu, maka tentu golongan yang lain tidak akan mau menerimanya.

Harus kita akui, Islam yang berkembang di sebagian sekolah-sekolah dan kampus-kampus kita itu adalah Islam yang normatif dan tidak memiliki dimensi komitmen kebangsaan. Komitmen untuk menjaga keutuhan dan persatuan NKRI. Maka tidak mengherankan jika gerakan-gerakan pengusung khilafah itu tumbuh subur di ‘lorong-lorong’ kampus sebagaimana yang disebutkan oleh LIPI di atas. Lagi-lagi, sasarannya adalah pemuda-pemudi Islam yang sedang studi di kampus-kampus besar itu.

Saya rasa mereka nihil akan Islam kebangsaan karena mereka tidak memahami secara holistik sejarah perkembangan umat Islam di Nusantara ini. Maka dari itu, menjadi tugas kita semua untuk memasifkan gerakan Islam kebangsaan. Yaitu dengan memberikan pemahaman secara intensif kepada mereka tentang wawasan Islam kebangsaan. Islam yang mengedepankan keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia. Bukan malah mencerai-beraikan dan ‘memonopoli’ bangsa ini.     

Walhasil, sembari mendorong pemerintah untuk berlaku tegas kepada kelompok-kelompok pengusung khilafah, kita masifkan dan teguhkan komitmen kebangsaan pemuda-pemudi Islam kita agar mereka tidak tergiur dengan ‘dagangan khilafah’. 


Penulis adalah Wasekjen Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) Pusat


Terkait