Priangan Timur abad ke-7 masehi berdiri kerajaan Panjalu yang diperintah prabu Cakradewa. Dari hasil perkawinan dengan putri Sari Kidang Pananjung, lahirlah enam putra yang salah satunya bernama Prabu Borosngora.
<>
Borosngora inilah yang disiapkan menjadi raja Panjalu di masa mendatang. Sejak muda Borosngora sangat berbakat mendalami ilmu kedigjayan.
”Kesaktiannya luar biasa, berjalan di tanah dan air tak ada bedanya. Iapun tidak pernah tahu warna darahnya sendiri karena kekebalan tubuhnya,” kisah kuncen Bumi Alit Panjalu, museum tempat barang-barang pusaka Panjalu di alun-alun kota.
Alkisah, tak ada satu mahlukpun di Nusantara yang mampu mengalahkan Borosngora. Ayahnya cemas akan kesaktian putranya. Ia takut sang putra manyalahgunakan ilmunya. Diceritakan, tak ada satupun Wiku (pendeta Hindu) yang bisa melunturkan ilmu Borosngora. Maka disuruhlah Borosngora berkelana mencari Elmu Sajati di negeri yang jauh.
Singkat cerita ia mengadu ilmu dengan seorang kakek tua di Hejaz, Mekah, Saudi Arabia. Ternyata ilmunya kalah oleh sang kakek yang tak lain adalah Sayidina Ali R.A. Iapun berguru dan mendapat ajaran Islam.
Pulang berguru, Borosngora menjadi raja sekaligus menjadikan Panjalu kerajaan Islam yang kuat. Saat pulang Borosngora dihadiahi pedang, cis (tongkat untuk kotbah) dan baju kesultanan. “Cis, dicuri gerombolan DI/TII tahun 50-an, baju hancur dimakan waktu, sedang pedang masih ada sampai sekarang,” kata Kuncen Bumi Alit.
Sampai kini pedang tersebut tersimpan di Museum dan bisa disaksikan oleh masyarakat saat akhir bulan Rabi'ul Awal atau akhir Maulid Maulid Nabi dalam upacara Nyangku. Sejarah menulis, saat pulang Borosngora juga membawa air Zamzam dan ditumpahkan di dataran rendah Panjalu dan berubah menjadi Situ Lengkong atau danau Lengkong.
Perjalanan sejarah ini mengandung arti penting, bahwa keislaman rakyat Panjalu bukan didapat dari saudagar arab (hadramaut) yanag berlabuh ke Indonesia seperti daerah-daerah lain, tapi peran aktif raja Panjalu ke tanah Arab di jaman Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Di pulau ini bersemayam makam para leluhur Panjalu, Mbah Panjalu yang menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur) adalah Sayid Ali Bin Muhammad Bin Umar dari Pasai. Dalam buku Babad Panjalu, beliau disebut sebagai Hariang Kencana, putra Prabu Borosngora. Versi lain menyebut yang dimakamkan adalah Wastu Kencana, raja Galuh yang bertahta di Kawali. Walahu alam!
Untuk mencapai Nusa Gede, transportasi satu-satunya adalah rakit. Air danau yang dipercaya berasal dari Zamzam di Tanah Hejaz (Arab) dan pemandangan Situ Lengkong dengan kelelawar pemakan buah, tentunya jadi kenikmatan tersendiri. Makam leluhur Panjalu yang kental nuansa magis dan sejarah kerajaan Sunda juga jadi magnet yang memesona.
Sehabis ziarah, silakan menyempatkan diri berkunjung ke museum Bumi Alit tempat disimpannya benda-benda pusaka kerajaan. Paling utama ya, pedang Sayidina Ali R.A, oleh-oleh sang guru pada Borosngora. Pedang tersebut tersimpan apik diselubungi kain putih. “Sebelum meninggal Borosngora berpesan untuk tak menujukkan letak makamnya. Hanya pedang inilah sebagai kenang-kenangan keturunan Panjalu sampai sekarang,” terang Kuncen Bumi Alit.
Saran saya, datanglah ke wilayah ini saat perayaan Maulid Nabi SAW. Mereka menggelar acara nyangku (mencuci benda pusaka). Jika beruntung, benda-benda pusaka seluruh tatar ukur (Priangan) akan datang secara gaib ke Bumi Alit untuk mandi. Katanya, museum Bumi Alit akan penuh oleh benda-benda yang berdatangan dari daerah lain. Setelah upacara pencucian selesai, koleksi Bumi Alitpun kembali seperti sedia kala.