Opini

NU Peduli di Daerah Terdampak Bencana (1)

Ahad, 17 Februari 2019 | 16:00 WIB

NU Peduli di Daerah Terdampak Bencana (1)

Pembangunan masjid oleh NU Peduli di Desa Lendang Galuh, Lombok Utara

Oleh Dwi Winarno 

Tidak banyak organisasi sosial-kemasyarakatan yang bertahan berbulan-bulan hingga fase pasca bencana (pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi). Di bawah bendera NU Care (Peduli), Lazisnu, LPBI-NU, dan LKNU menjadi ujung tombak pelibatan NU di daerah terdampak. Gambaran ini terlihat jelas di Lombok, setelah mengalami guncangan gempa hebat bertubi-tubi, hingga bulan ketujuh (Februari 2019) pasca bencana masih beroperasi.

Dalam pengamatan penulis terdapat tiga faktor kunci yang menjadi kekuatan. Pertama, kekenyalan mental mereka yang terlibat di dalam NU-Care di  pusat maupun daerah terdampak bencana. Di daerah, nyaris tidak satupun yang punya pengetahuan teoritik terkait manajemen bencana dan pengalaman. Hanya bermodal semangat untuk terus mau belajar dalam menghadapi dinamika dan berbagai tantangan yang membuat mereka sejauh ini terlihat berhasil. Kisah ini bersama kisah lainnya akan dimuat dalam tulisan berikutnya.

Kedua, terjadinya gerakan penggalangan bantuan (filantropi) kemanusiaan secara massif di tingkat pusat maupun daerah. Tercatat donasi yang terkumpul dan tersalurkan di NTB dan Sulawesi Tengah lebih dari 18 milyar rupiah. Layak dideklarasikan sebagai kebangkitan tahun filantropi NU.

Ketiga, kerelaan untuk saling bahu-membahu seluruh lembaga dan badan otonom (Ansor, Muslimat, Fatayat, IPNU-IPPNU, dan lain-lain) di lingkungan NU yang bersedia terkoordinasi di bawah bendera “NU Peduli”. Perkara masih ada yang gerasa-gerusu adalah soal kebutuhan waktu belajar yang terus berjalan.  

Gotong Royong
Saat saya mendengar presentasi bu Baiq Mulianah (Ketua Tim Relawan NU Peduli Lombok) dalam acara Sarasehan Kebencanaan Region Sumatera di Bandar Lampung 4 Februari lalu, hati saya bergetar. Selain bu Baiq yang mewakili NTB terdapat juga beberapa narasumber lain dari Sulteng, Lampung, dan Banten. Dua daerah terakhir baru saja terkena dampak tsunami Desember tahun lalu.

Apa yang membuat saya bergetar? Soal semangat juang dan kemauan untuk terus mendidik dan bergerak bersama masyarakat korban bencana.

Di fase transisi dari tanggap bencana dan rekonstruksi, Bu Baiq dan kawan-kawan terus berada di lapangan. Berupaya melakukan yang terbaik dan tetap membuat korban punya semangat melanjutkan hidup. Berupaya mengurangi sikap lemah. 

Fenomena ini terlihat misalnya dari keterlibatan masyarakat untuk mau membangun tempat tinggal maupun fasilitas publik seperti madrasah, masjid, maupun MCK. Ia mengumpulkan masyarakat di mana di situ akan dibangun hunian sementara maupun hunian tetap. Ia berkata, “Orang jauh saja bisa beramal jariyah di tempat ini, kenapa kita tidak? Ini bukan proyek.” Ia meminta masyarakat yang masih sanggup mengorbankan tenaganya untuk mau bergotong-royong. Membangun atau merenovasi tiap rumah dan fasilitas publik secara bersama-sama. “Itulah yang membuat masyarakat tersentuh. Prinsipnya love, care, and share.”

Mengapa ia melakukan hal demikian? “Kalau kita hanya bangun, mereka tidak akan bangkit. Tidak akan ada sense (rasa kepemilikan),” ujarnya. Karena itulah masyarakat mau bergotong-royong dan punya kesadaran yang tinggi. Misalnya, meski terdapat beragam material yang disediakan untuk membangun hunian, masyarakat hanya mengambil apa yang dibutuhkan. Tidak ada yang saling berebut dan mengambil apa yang sudah dimiliki.

Upaya itulah yang akhirnya membuat penggunaan dana menjadi sangat optimal, melebihi harapan dari anggaran yang dialokasikan. Dana yang dialokasikan untuk membangun hunian adalah 7.5 juta/unit yang mestinya hanya bisa membangun 256 unit hunian di satu lokasi. Tapi karena semangat gotong-royong maka hunian yang dibangun mencapai 355 unit. 

Sampai dengan akhir Januari 2019, di luar penanganan pada fase tanggap darurat, NU Peduli Lombok total telah membangun 655 unit hunian, lalu sejumlah masjid permanen, MCK, madrasah, dan sumur bor yang berimplikasi langsung bagi 13.534 penduduk. 


Penulis adalah dosen Pengampu Sosiologi Bencana, Unusia, Jakarta



Terkait