Opini

NU dan Kebangkitan Nasional

Jumat, 20 Mei 2016 | 09:30 WIB

NU dan Kebangkitan Nasional

Bendera NU dan Indonesia/Okezone

Oleh Fathoni Ahmad
Dalam sejarah pergerakan nasional, tidak ada yang memungkiri bahwa kebangkitan bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme erat korelasinya dengan peran generasi muda. Sebab itu, kesadaran demikian harus tertanam kuat pada diri para anak bangsa untuk memajukan Indonesia setelah para orang tua dulu berhasil membangkitkan sendi-sendi nasionalisme melalui perjuangan dengan taruhan jiwa dan raga. Paradigma ini bila perlu diinternalisasikan ke alam bawah sadar sehingga setiap ancaman apapun yang berpotensi memecah belah persatuan dan sikap nasionalisme secara otomatis tertolak pada diri generasi muda sebagai tulang punggung eksistensi kemajuan bangsa dan negara.

Kebangkitan Nasional perlu diarahkan pada tantangan-tantangan yang terkait nasionalisme. Semangat inilah yang terus dijaga oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial kegamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyah) terbesar di Indonesia bahkan pada level dunia dengan terus memberdayakan generasi muda melalui wadah pelajar maupun pemuda. Di titik inilah perjuangan NU hingga kini tidak hanya bergerak sebagai organisasi keagamaan, melainkan memperkuat basis sosial kemasyarakatan sehingga tercipta bangsa dan negara yang kokoh seperti yang telah dilakukan oleh para ulama pendirinya.

NU yang direpresentasikan oleh kalangan pesantren mampu melahirkan sebuah pergerakan nasional di mana para santri atau golongan muda saat itu berkomitmen memperkuat diri demi melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Peran kalangan dan ulama pesantren begitu nyata dalam membangun pondasi kekuatan bangsa secara embrionik melalui perkumpulan para pemuda dengan komitmen cinta tanah air yang berhasil dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah beberapa tahun setelah dr Soetomo mendirikan organisasi pemuda bernama Budi Oetomo pada 20 Mei 1908 sebagai titik pijak kebangkitan nasional.

Semangat Abdul Wahab muda sekitar tahun 1914 setelah pulang dari menuntut ilmu di Mekkah merasa tidak bisa memaksimalkan seluruh kemampuan berpikir dan bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1883-1934 M). Kiai Wahab merasa tidak puas jika belum mendirikan organisasi sendiri. Karena dalam pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan dirinya menginginkan tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan pendidikan.

Singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan dengan bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyayikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab yang kini populer, yakni Yalal Wathan yang juga dikenal dengan judul Syubbanul Wathan.

Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar. Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische Studieclub, Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air), dan kursus masail diniyyah bagi para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, yakni membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah. Kiai Wahab telah membuktikan diri bahwa internalisasi semangat nasionalisme sangat efektif diwujudkan melalui ranah pendidikan. Hal ini dilakukan dengan masif di berbagai pesantren sehingga peran kalangan pesantren sendiri diakui oleh dr Soetomo (Bung Tomo) sebagai lembaga yang sangat berperan dalam membangun keilmuan yang kokoh bagi bangsa Indonesia sekaligus dalam pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan.

Dalam salah satu sumber historis, Bung Tomo berkata: “Sebelum gopermen Hindia Belanda membuka sekolahnja, pada waktoe itoe, pesantrenlah jang mendjadi soember pengetahoean, mendjadi mata air ilmoe bagi bangsa kita boelat-boelatnja”.  Selain itu dia juga memberikan pernyataan jelas terkait nasionalisme yang terus dibangun oleh kalangan pesantren. Bung Tomo berkata: “Pesantren adalah konservatorium nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Andai tidak ada pesantren, andai kata tokoh-tokoh Indonesia hanya mendapatkan pendidikan Barat, kiranya sulit mengajak mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.” 

Semacam testimoni dr Soetomo tersebut bukan isapan jempol belaka. Tokoh-tokoh ulama dan kiai tidak hanya menginspirasi kalangan pesantren, tetapi juga memberikan spirit (ruh) perjuangan kepada para tokoh nasional seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain sebagainya. Tokoh perjuangan dari kalangan nasionalis itu secara mantap menjadikan ulama sebagai pelabuhan berpikir dan bertindak dalam melakukan perjuangan kemerdekaan saat itu, terutama kepada KH Muhammada Hasyim Asy’ari yang kerap kali menjadi tempat meminta pendapat bagi para pemuda pergerakan nasional dalam melawan menjajah. 

Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari merumuskan ‘dalil’ bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman, hubbul wathani minal iman yang berhasil membuat bangsa Indonesia tergerak untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Artinya, memperjuangkan kemerdekaan rakyat dari belenggu penjajah sama dengan menegakkan agama. Karena di tanah air Indonesia yang merdeka inilah, nilai-nilai agama Islam bisa tumbuh dan berkembang.

Dari sekilas riwayat perjuangan para kiai dan kalangan pesantren di atas, telah membuktikan bahwa lahirnya NU pada tahun 1926 yang digagas para ulama Nusantara saat itu tidak hanya bertujuan membangun pondasi paham keagamaan yang kuat di tengah masyarakat dengan paham Islam yang moderat dan inklusif, tetapi juga didorong oleh semangat nasionalisme yang berusaha diterapkan kepada para pemuda melalui sistem pendidikan pesantren.

Tantangan generasi muda kini

Para bapak pendiri bangsa (founding fathers) telah berkorban jiwa dan raga demi memperjuangkan dan menegakkan kemerdekaan bagi bangsa dan negara Indonesia. Perjuangan yang bermula dengan memberdayakan para pemuda memberikan pelajaran bagi generasi muda sekarang bahwa kemajuan negeri yang telah 71 tahun merdeka ini ada di pundak para anak bangsa. Di titik inilah kebangkitan nasional yang telah lama direngkuh harus diwujudkan dengan berbagai macam kemajuan bangsa sehingga mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

Seorang dr Soetomo bersama perkumpulan dokter muda di STOVIA yang notabene sekolah Barat, justru tidak melunturkan rasa nasionalisme. Begitu juga dengan Soekarno, Hatta, dan beberapa tokoh nasionalis lain yang juga memperoleh pendidikan ala Barat. Mendapat pendidikan ala Barat justru membuat mereka berpikir bahwa kemajuan dan kebebasan yang serasa lezat didapat oleh Barat, juga berhak diperoleh bangsa Indonesia. 

Generasi muda bebas berkiprah dan memperoleh pendidikan di berbagai belahan dunia asal tidak alpa dengan kondisi bangsa dan tanah airnya. Berangkat dari pemikiran para founding fathers tersebut, anak bangsa baik di dalam maupun yang sedang mengenyam pendidikan di luar negeri hendaknya tidak membawa mental inlander dengan mengagung-agungkan kemajuan bangsa lain dengan mengolok-olok negerinya sendiri tanpa bergerak melakukan apapun. Justru kemajuan bangsa lain secara teknologi dan tatanan sosial-kemasyarakatan harus membuat mereka bergerak berupaya melakukan perubahan meskipun berawal dari lingkup masyarakat lokal.

Selain itu, potensi dan kekayaan Indonesia, baik dari sisi alam, budaya, tradisi, kearifan lokal, dan lain-lain harus mampu dimanfaatkan para generasi muda untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah dunia global. Apalagi dewasa ini banyak media yang dapat digunakan untuk mempromosikan pesona Indonesia kepada masyarakat internasional termasuk karakter Islam yang ramah, moderat, toleran, dan mau berbaur dengan berbagai bangsa yang kini sedang mengalami stigma negatif oleh sebagian masyarakat global karena aksi terorisme.

Di titik inilah penulis ingin menyampaikan secara gamblang tantangan nasionalisme yang banyak tereduksi pada diri para generasi muda Indonesia yang sebagian asyik dengan mental intoleransi dan paham radikal tanpa memahami harmoni persatuan bangsa Indonesia yang justru terbangun dari kemajemukan dengan tali ikat Pancasila. Tentu ironis dan miris ketika nasionalisme dibenturkan dengan keyakinan agama. Karena jelas para pendiri bangsa ini dapat menyatukan berbagai agama, suku, bangsa, dan lain-lain di tanah air dengan tali nasionalisme. 

Bangsa Indonesia patut prihatin ketika ada sebagian anak bangsa yang menolak hormat pada bendera Merah Putih dengan dalih syirik. Padahal para pahlawan bangsa ini bertaruh jiwa dan raga untuk dapat mengibarkan dwi tunggal tersebut. Tentu dengan logika sederhana saja ketika mereka juga menghormati orang tua, apakah hal itu berarti mereka juga menyembah orang tua? Tentu tidak, karena menghormati benda dan Tuhan ada caranya masing-masing. Jangan sampai dengan propaganda kelompok-kelompok tertentu dengan paham transnasional (bukan dari Indonesia) dibungkus agama yang jauh dari nilai-nilai Islam dan Pancasila membuat persatuan dan nasionalisme bangsa menjadi pudar. Jagalah agamamu, untuk Indonesiamu. Selamat Hari Kebangkitan Nasional!

Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.


Terkait