Opini

Mimpi Terwujud di Tanah Papua

Senin, 25 Juni 2018 | 11:00 WIB

Oleh Siti Nur Syamsiyah

Desember 2017 telah berlalu. Tapi, rasanya baru kemarin saya menghirup udara Bumi Cenderawasih.

Ibarat kue, Papua adalah rainbow cake banyak lapisan  dengan beragam warna kulit, corak budaya puluhan suku, hingga rasa hangatnya kerukunan antarumat beragama. Papua itu ruang terbuka yang menyimpan banyak misteri, menceritakan tentangnya tentu tidak bisa dalam waktu singkat.

Selain profesi, kota dan negara tetangga biasanya masuk dalam daftar impian seseorang, tidak terkecuali saya. Bermula dari siaran televisi tentang suku Asmat Papua, keinginan ke Papua makin terpupuk saat saya mengenyam pendidikan SMA di Boarding School Minhajuth Thullab Cabang Lampung. Keinginan itu mendorong saya bertanya pada banyak orang, lalu tersenyum hambar begitu mereka menyebutkan jutaan rupiah yang  perlu saya alokasikan untuk impian itu.

Seiring waktu berlalu, saya kira saya sudah lupa tentang kota impian itu. Rupanya tidak, impian itu kian mengakar kuat dalam diri, tepat saat saya kuliah di Jurusan Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Inilah 'bahaya laten' membaca buku-buku tentang Papua sembari mencuri waktu berbincang dengan teman dari Timur Indonesia yang kaya akan pulau-pulau bak replika surga dunia.

Perkenalan dengan Papua diawali dengan keunikan pigmen kulit gelap dan keriting halus rambut. Berlanjut pada keinginan live in di tanah kembang biak burung surga, Cendrawasih. Hingga saat menulis catatan ini, belum ada keinginan mengakhiri apa pun tentang Papua dan kisah senja di balik kapal setinggi rumah tiga lantai itu.

“Ada seribu jalan bebas biaya menuju Papua,” jargon yang saya ciptakan untuk menghibur diri, tidak boleh patah dan hangus tersengat sinar matahari. Terus menggali dan mengumpulkan program apa saja yang berkaitan dengan Papua melalui internet hingga menjadi volunteer di salah satu LSM milik sebuah yayasan Kisten di Yogyakata.

Tak hanya soal  biaya, orang tua senantiasa menolak setiap kali saya curhat perihal kota impian berjuluk 'Kota Seribu Pulau' pascawisuda nanti. Ketakutan mereka tidak pernah berubah, penikaman tombak dalam perang suku seperti pemberitaan media.

Bosan melobi orangtua, saya berontak dengan melakukan pembiaran skripsi selama satu semester. Teguran pembimbing hingga ungkitan tentang beasiswa dari kampus hraus saya terima. Menjelang akhir 2016 saya pasrah lalu memutuskan  menyelesaikan skripsi  dengan predikat cumlaude. 

Saat pikiran saya dipenuhi dengan pilihan kampus untuk lanjut study, tiba-tiba seorang teman mengunggah sebuah pesan panjang berisi tawaran mengabdi di wilayah 3T Indonesia di grup Whatsapp. Setelah mengkonfirmasi kebenaran konten, tanpa membuang waktu saya tanya panitia apakah Papua masuk daftar wilayah target?

Tahap pertama seleksi berkas, peserta seleksi diminta mengirimkan beberapa berkas salah satunya KTP. Tanggal 18 September 2017 peserta yang lolos seleksi berkas melakukan tes wawancara sesuai lokasi pemanggilan di Kemenag Provinsi di Pulau Jawa. Selain basic keagamaan dan skill, peserta seleksi diminta membaca kitab kuning gundul dan menghafal doa qunut.

Saya deg-degan sekaligus tertantang mendengar penuturan Panitia: hanya 50 peserta yang diambil untuk ditempatkan di wilayah 3T dari Sabang sampai Merauke. Sementara peserta seleksi berjumlah ratusan. Jelas saja nyali saya menciut.

September berlalu, Oktober beranjak menjemput  November, sedangkan pengumuman tak kunjung terdengar. Menjelang akhir November, Panitia memberikan kabar kepastian sekaligus mengeluarkan SK dalam bentuk pdf. Seketika saya sujud sukur setelah menemukan nama saya ada di antara 50 nama peserta inti Program Bia Kawasan Kementerian Agama RI. Program ini bekerjasama dengan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu).

Kembali saya mendekati ibu saya, mengutarakan impian lama yang tak pernah lekang oleh waktu.

Mendengar kata NU sontak ibu merestui rencana kepergian saya ke Papua. Tidak lagi ada drama penolakan atau aksi mogok sebagai ekspresi kecewa. Saya meyakini ini adalah berkah dari Fatihah pada ulama, amin.

Entah kiasan apa yang tepat menggabarkan pencapaian ini. Nikmat yang sangat indah menjelang tahun baru 2018. Bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta Tangerang pukul 00:30 WIB lalu mendarat di bandara Domine Edward Osok (DEO) Kota Sorong tepat pukul 07:47 WIT. Hati saya masih campur aduk antara bahagia dan belum percaya sudah sampai tanah Papua.

Selama perjalanan saya dan Abdul Aziz, peserta dengan lokasi penempatan di Kabupaten Sorong mendengar banyak cerita perihal Papua dan pernak-perniknya  dari Pak Ismail Agia. Pak Ismali adalah pensiunan Kemenag Jayapura yang saat ini mendedikasikan hidupnya untuk Yayasan Emeyodere Kota Sorong.

Hari itu cuaca cerah, belum ada sengat matahari. Suasana semakin syahdu kala beradu dengan lantunan shalawat yang didendangkan dua gadis berseragam putih biru saat menyambut hingga mengiringi barisan panjang tradisi pegang tangan.

Anehnya, mata saya menangkap banyak warna kulit dan bentuk rambut. Tidak hanya hitam kulit dan rambut keriting. Tidak hanya suku asli Papua di tanah ini. Banyak pendatang dari segala penjuru tanah air.



Setelah sambutan dari pembina yayasan dan perwakilan dari Kemenag Kota, mikropon bergeser ke saya. Saya memperkenalkan diri. Menuturkan niat dan tujuan kedatangan untuk  belajar bersama. Menebarkan misi Islam yang rahmatan lilalamin, serta konsisten menjaga keutuhan NKRI melalui pendidikan sekolah formal.

"Emenigeya!" Itulah kosa kata lokal pertama yang saya simpan dalam ingatan. Itu berasal dari suku Kokoda, Sorong Selatan. Diucapkan setelah "Assalamualaikum" yang berarti selamat pagi.



Kata ini saya dapat dari pembina Yayasan Emeyodere, Ismail Agia saat memasuki ruang pertemuan. Sebuah sekolah panggung di atas rawa-rawa mangrove berbatasan dengan sungai di bagian barat. Sembari mengamati air pasang, saya menghirup hawa sejuk dan damainya kehidupan di sekolah ini. Sempurna, saat seperti  inilah imajinasi mulai mengembara, tentu akan sangat asyik melempar umpan sembari mengajar di kelas, batinku sembari tersenyum nyengir.

(Baca: Tradisi Ketupat Santan Gantung Satukan Keberagaman Kampung Atkari)

Saat mengingatnya ulang, bingung adalah kata yang pas disematkan untuk tatapan hadirin yang memadati ruang pertemuan saat itu. Di wilayah Jawa misalnya, orang baru memang menyita perhatian dan seseorang akan curi-curi pandang untuk mengamatinya. Di sini tidak, orang yang baru datang akan diamati dengan seksama tanpa berpaling dalam kurun waktu yang sangat lama.

Tidak itu saja, hingga satu pekan anak-anak kerap mengikuti ke mana pun saya pergi dan mengamati apa yang saya lakukan. Awalnya merasa kikuk, sejurus kemudian saya mengajak mereka berbincang untuk mencairkan suasana. Lucunya, saya harus dengan seksama mendengar ucapan mereka yang serba cepat dan selalu menyingkat kata. Sementara mereka juga kurang bisa menangkap dengan baik gaya bahasa Indonesia yang saya gunakan.

Membangun adaptasi dengan baik dan sesegera mungkin adalah kunci hidup di wilayah yang berbeda kultur dengan kita. Di mana tanah dipijak maka disitulah langit dijunjung.

Penulis adalah peserta Program Bina Kawasan yang ditugaskan ke Papua. Program ini diselenggarakan Kemenag RI bekerjasama dengan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu).


Terkait