Opini

Menggali Kemungkinan dari Kehidupan Kampung

Senin, 9 Mei 2016 | 15:03 WIB

Oleh MH Nurul Huda
Pengamatan berikut ini barang kali tidaklah istimewa bagi sebagian besar pembaca yang pernah mengalami hidup di pedalaman desa. Di sebuah kampung, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota kabupaten, penulis menemui seorang sahabat yang menghabiskan masa kecil hingga tumbuh remaja belia. Ia hidup dalam sebuah keluarga: orang tua, saudara, bibi dan nenek (kakek meninggal sebelum ia dilahirkan) di mana laki-laki pada umumnya adalah pemimpin, kepala keluarga.

Hidup di lingkungan budaya “patriarki” (mudah-mudah tidak terjadi misplaced concreteness dalam penggunaan istilah ini), seorang ayah umumnya memegang otoritas dominan dalam urusan rumah tangga. Perempuan sebagai ibu memberi pertimbangan-pertimbangan ala kadarnya. Ayah menerapkan disiplin keras pada anak, ibu sedikit lebih longgar kecuali untuk urusan agama di mana moralitas keluarga dan masyarakat kurang lebih diupayakan seirama dalam budaya yang ada. Sedangkan nenek yang profesinya dukun (pijat) bayi, tak seorang pun berani coba-coba intervensi saat ia tengah bekerja.

Entah bagaimana, dengan membandingkan kesamaan-kesamaan kehidupan sahabat tadi, penulis turut merasa beruntung tumbuh bersama keluarga sendiri meskipun mungkin tak terlalu sempurna bagi sebagian orang (bila keluarga sempurna itu ada). Dirinya hidup di lingkungan bertetangga yang kurang lebih rukun, saling menjaga. Masyarakatnya masih berinteraksi dengan guyubnya, bahkan ketika berpapasan di tengah jalan mereka dipastikan saling menyapa bahkan menyempatkan ngobrol empat-lima buah kata. Memang suasana kehidupan ini hangat terasa, meskipun tak semuanya penuh romantika: ada juga berita pencurian, pertengkaran tetangga, atau tawuran kecil anak-anak muda antardesa usai tanding sepak bola. Bersyukur, tak terdengar kasus perkosaan keji oleh segerombolan para remaja.

Secara umum mushala atau masjid masih menjadi salah satu tempat warga berkumpul dan bertemu muka. Kadang dalam acara-acara kendurian atau tahlilan di mana seorang kiai kampung (laki-laki) biasanya diundang untuk memimpin dan memberikan petuahnya. Ada juga tahlilan jemaah para ibu yang dipimpin ibu nyai, yang dihadiri para remaja putri. Mereka-mereka ini biasanya asyik mengobrol atau bercerita tentang apa saja, sebelum dan setelah acara. Mulai dari kenaikan harga pupuk, serangan hama yang bikin petani gigit jari, hingga perkara anak-anak mereka yang telat bayar uang sekolah. Saling pinjam uang antartetangga sudah biasa.

Pada usia remaja, seperti halnya sahabat kita tadi, penulis bisa membedakan bidang-bidang pekerjaan warga. Sebagian besar mereka adalah para petani pemilik (sebagian kecil petani penggarap atau buruh tani). Beberapa di antaranya berjualan di warung kelontong, atau bekerja di bidang pertukangan. Di antara mereka adalah guru-guru sekolah dan mengaji, modin, bayan desa, atau “mantri” puskesmas. Satu-dua menjadi tentara, polisi atau pegawai negeri sipil di kecamatan. Penghasilan mereka berbeda-beda, tergantung profesi atau kepemilikan alat produksi yang entah berasal dari harta warisan atau dari lainnya. Oleh karena itu di antara mereka ada yang kaya, ada yang sedang-sedang saja, dan ada pula kurang berpunya, yang biasanya terlihat sekilas dari tampilan bangunan rumah atau jenis kendaraannya.

Tahun demi tahun, rupanya masyarakat kampung tidaklah statis seperti yang pernah penulis bayangkan sebelumnya. Meskipun profesi orang tua sering kali berpengaruh pada pilihan profesi sang anak, di kemudian hari anak petani tak selalu mengikuti jejak profesi orang tuanya. Demikian pula anak seorang guru, anak kiai, anak tentara, atau anak pedagang. Akses pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih menguntungkan (terutama mereka yang merantau ke kota menjadi penjaga toko atau  buruh pabrik, atau merantau ke luar negeri menjadi TKI) dapat mengubah peruntungan ekonomi keluarga atau kesempatan memilih profesi lain bagi saudara dan anak-anak mereka.

Singkat kata, akses pendidikan dan mobilitas sosial mampu mengubah mentalitas dan cara berpikir orang, serta memperluas imajinasi dan kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Semua ini, misalnya, dapat mengubah anggota kelompok “petani/buruh” menjadi anggota kelompok “tentara” (sekarang mencakup: polisi, satpam, petualang, pekerja terampil, dan lainnya), atau mengubah anggota kelompok “pedagang” (sekarang mencakup: tukang kredit, tuan tanah, kapitalis, dan lainnya) menjadi anggota kelompok “intelektual” (sekarang mencakup: kiai, penulis, sastrawan, pengacara, ilmuwan, “mantri”/dokter, guru/dosen, dan yang serupa), dan juga sebaliknya.

Hal-hal demikian itu, penulis kira, tidaklah terbatas berlangsung di kampung sendiri, tapi juga terjadi di desa-desa dan kota-kota lainnya. Maka tak heran bila seorang profesor di sebuah perguruan tinggi ternama turut memberi kesaksian dalam pidato pengukuhannya tentang tak sedikitnya intelektual kampus yang berubah watak dan karakteristik menjadi seorang buruh “proyek” belaka. Berdasarkan informasi lebih lanjut, hal serupa juga terjadi di masyarakat kawasan lain di Asia, Afrika, dan Eropa. Ada golongan tani/buruh yang pekerja jelata, ada pula golongan pedagang, golongan intelektual, dan golongan tentara, berikut fleksibilitas perpindahannya dari golongan satu ke golongan lain. Mereka membentuk suatu sistem sosial-kultural suatu masyarakat dan turut berperan dalam evolusi sejarah.

Dalam sejarah peradaban umat manusia, tidak ada suatu masyarakat apapun dan di manapun tanpa keberadaan suatu elite pemimpin. Oleh karena itu, golongan-golongan itu pun, pada suatu masa, memegang otoritas dan berkuasa atas yang lainnya. Umpamanya di masyarakat Mesir Kuno (Kekaisaran Mesir Kuno, Kekaisaran Mesir Pertengahan, Kerajaan Mesir), di masyarakat Eropa (Kekaisaran Romawi, Negara-Gereja, negara-negara monarki, hingga negara-negara kapitalis yang meluas hingga Amerika sekarang) dan masyarakat Asia (Kerajaan-kerajaan Hindu, Kerajaan-kerajaan Budha, Kerajaan-kerajaan Islam, dan Negara-negara kapitalis hingga sekarang), juga di tempat-tempat lainnya.

Namun demikian tidak ada kekuasaan yang berlangsung abadi dan kekal. Dinasti satu berganti ke dinasti berikutnya, kelompok elit berkuasa satu berganti kelompok elit berkuasa berikutnya. Pergantian dinasti dan kelompok elit itu kadang berjalan tenang dan damai, namun seringkali berlangsung lewat jalan kekerasan dan aksi yang berdarah-darah. Di suatu era elit dari golongan “pedagang” berkuasa dan di era yang lain elit dari golongan “intelektual” mengambil alih, atau sebaliknya. Dan pada satu era yang lain elit dari golongan “pekerja jelata” memegang pemerintahan dan di era yang lainnya elit golongan “tentara” menggantikannya, dan sebaliknya. Seperti terekam dalam sejarah, jatuh-bangunnya kekuasaan pemerintahan dari elit golongan-golongan itu pada suatu era ditentukan oleh moralitas pemimpin dan tingkat kepuasan golongan-golongan yang lain atas distribusi alat-alat dan sumber-sumber produksi.

Kembali pada suasana kehidupan di kampung kecil dari sahabat penulis tadi berada. Baru-baru ini, seorang pemuda dari golongan pekerja jelata, yang berpindah profesi menjadi pedagang di rantau, terpilih menjadi kepala desa. Ia menggantikan pejabat sebelumnya yang berasal dari elit golongan lain yang memimpin lama. Salah seorang warga yang penulis temui mengaku, bahwa pilihannya kepada lurah baru itu didasarkan pada beberapa alasan: ingin pemimpin dari golongan baru, yang tidak membebani warga dengan aneka kewajiban iuran, serta cekatan menyelesaikan urusan warga yang membuat mereka nyaman dan aman.

Seketika itu, terlintas dalam benak penulis sebuah pertanyaan, apakah suara warga itu kurang lebih mewakili kehendak masyarakat kita secara umum. Mereka, yang pada satu saat nanti, memilih pemimpin baru dari seseorang yang latar belakangnya mewakili semua golongan, bekerja untuk kemaslahatan bersama, yang tidak mengeksploitasi dan bikin rakyat menderita, sekaligus dapat menjamin ketertiban dan memberi rasa nyaman kepada semua golongan.

Sayangnya, penulis tidak tahu apakah fenomena sederhana itu adalah suatu kecenderungan evolusi zaman yang dalam suatu era dapat timbul dan tenggelam, ataukah sekadar harapan anak manusia kebanyakan secara diam-diam. (bersambung...)


*) MH Nurul Huda, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia di Jakarta


Terkait