Opini

Mempertegas Khittah Epistemologis NU dalam Jagat Intelektual

Ahad, 13 Januari 2008 | 23:00 WIB

Oleh Dr Ir Aji Hermawan, MM

Nahdlatul Ulama (NU) sebentar lagi menginjak usia ke-82 tahun. 82 tahun keberadaanya dalam kancah politik dan gerakan kultural di Indonesia, telah memberi warna tersendiri yang tidak jarang menimbulkan perdebatan dan kesalahpahaman. Pada suatu saat, perilaku kultural NU acapkali dianggap jumud (stagnan) dan ketinggalan zaman. Dalam dunia politik, perilaku politik NU seringkali dituding oportunistik.

Munculnya kesalahpahaman dalam menilai kiprah dan keterlibatan NU baik di jagat politik maupun ranah kultural, dapat dipahami—selain karena kelemahan internal organisasi NU—juga disebabkan umumnya masyarakat terdidik di Indonesia melihat NU dengan paradigma tertentu dan cara pandang tertentu.<>

Paradigma utama yang dominan saat ini adalah positivisme atau sering disebut sebagai fungsionalisme atau strukturalisme. Paradigma ini, intinya, melihat fenomena sosial dan kebenaran sebagai hal yang obyektif di luar kesadaran manusia, persis seperti paradigma dalam ilmu alam. Paradigma ini pulalah yang dianggap melahirkam modernisme dan kemajuan pada masyarakat Barat dengan lahirnya renaisans (pencerahan).

Namun demikian, paradigma ini, saat ini, mendapatkan kritik tajam di negara-negara Eropa yang menjadi tempat kelahiran dan berseminya. Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia adalah negara-negara Eropa yang banyak melahirkan pemikir yang menentang cara berpikir modernisme yang dianggap menghasilkan banyak masalah kemanusiaan di dunia sekarang.

Kritik tajam terhadap paradigma modernisme ini tidak terjadi di Amerika Serikat (AS) yang sekarang ini berada di garis terdepan dalam kemajuan. Di luar sumbangan dalam hal-hal yang sifatnya praktikal, AS memang tidak memberikan sumbangan apapun dalam pemikiran filosofis selain pragmatisme. Karena itu, meskipun ruang kebebasan berpikir di negara ini begitu terbuka lebar, pemikiran-pemikiran kritis tidaklah tumbuh subur.

Dunia intelektual Indonesia banyak dipengaruhi oleh AS. Kondisinya tidak jauh berbeda. Apalagi AS memiliki andil besar dalam pembangunan nasional. Selama berkuasa, Soeharto tidak memperbolehkan munculnya tradisi kritis. Marxsisme, sebagai pintu ajaran kritisme terhadap modernisne, dilarang hingga saat ini.

Karena itu, dapat dipahami jika mayoritas intelektual dan kelas terdidik di Indonesia masih akrab dengan cara berpikir lain yang juga ilmiah. Sebaliknya, orang atau kelompok yang memiliki cara pandang di luar paradigma dominan menjadi kelompok tersingkirkan atau terkucilkan secara inelektual, politik, dan sosial.

NU termasuk kelompok yang memiliki paradigma unik yang berbeda dari paradigma dominan. Karenanya, tak heran sering ditemui perilaku kultur dan politik NU yang tidak dapat dijelaskan oleh para pengamat mana pun karena memang cara pandang yang digunakan berbeda.

Sebetulnya, untuk memahami rasionalitas keunikan perilaku politik dan kultur NU, tidaklah terlalu sulit. Hal itu dapat ditelusuri melalui slogan yang dipegang teguh orang-orang NU, yakni melestarikan nilai-nilai tradisional yang positif dan menjemput nilai-nilai baru yang lebih progresif.

Nilai-nilai tradisional (lama), bagi NU adalah tradisi Islam dan tradisi di Indonesia di mana kita berpijak, sedangkan yang baru, bagi NU adalah modernitas. NU sebenarnya secara konsisten selalu bergerak dalam ruang tradisi ke-Indonesia-an, dan ke-modern-an yang dibumikan pada realitas sekarang.

Di tengah perang pemikiran seperti terjadi sekarang ini, Indonesia, bahkan dunia, memerlukan alternatif pemikian, yang tidak didominasi hegemoni pemikiran Barat yang dapat memberangus tradisi-tradisi lokal dan bahkan tradisi keberagamaan.

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam, memerlukan pendekatan relijius, yang tidak akan mendapatkan tempat dalam dunia positif-modernisme. Pada saat yang sama, Indonesia memerlukan model Islam yang mampu menunjukkan sikap yang toleran, ramah, dan melindungi minoritas dalam Indonesia yang berbhineka. Yang dibutuhkan Indonesia bukanlah Islam impor yang sangat hegemonis yang tidak ramah terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, Indonesia dan dunia sangat membutuhkan NU dan NU harus mampu menunjukkan posisi paradigmanya yang memang berbeda dalam kancah pemikiran dunia saat ini.

Sebagai organisasi massa terbesar yang berada dalam lingkungan sosial politik yang dinamis, maka perubahan memang sangat sulit dielakkan. Kalau NU kini sangat tampak pragmatis dalam segala hal, warga NU bisa jadi telah mengalami mutasi epistemologis dari kelahirannya. Pragmatisme bukanlah basis epistimologis NU, bukan pula pijakan sewaktu NU didirikan, Januari 1926 silam.

Karena itu, hemat saya, rasanya penting penegasan kembali kepada khittah terutama khittah epistemologis NU, sebagai gerakan kebangkitan intelektual di zamannya yang peduli pada konteks budaya lokal, gerakan melawan hegemoni modernisme yang menunggang dalam sikap keberagamaan.

Khittah epistemologis jauh lebih penting daripada khittah politis. Jika kembali ke khittah, hanya dipahami sebagai kembali ke kondisi awal sebagai organisasi sosial keagamaan yang menyingkir dari dunia politik, maka NU hanya akan menjadi organisasi yang bimbang terhadap kenyataan sosial politiknya. Namun, jika epistemologi NU jelas, maka jelas pula sikap politiknya, tidak mencla-mencle ke sana kemari, baik di dalam dunia politik praktis maupun dalam dunia high politics.

Kejelasan epistemologis inilah yang dapat menjadi pegangan bagi warga NU. Ini merupakan salah satu tugas penting komunitas intelektual di NU, jika menginginkan NU kembali bangkit memimpin di segala bidang pemikiran, mendudukkan NU pada posisi yang terhormat, dan memberikan manfaat besar bagi umat, bangsa, dan negara tercinta.

*Penulis adalah Pembina KMNU-IPB, Dosen IPB, mantan Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU United Kingdom


Terkait