Opini

Mbah Moen tentang Wayang dan Kepemimpinan

Sabtu, 23 Februari 2019 | 20:00 WIB

Mbah Moen tentang Wayang dan Kepemimpinan

null

Oleh Ali Makhrus 
 
Kebiasaan Nusantara, terkhusus Jawa, mengaitkan fenomena dan perubahan sosial dengan dunia pewayangan. Tidak hanya persoalan dunyawi, melainkan juga ukhrawi juga terakomodasi dengan apik dalam setiap pagelaran wayang. Ringkasnya, wayang sebetulnya tidak jauh-jauh dari perang Baratayuda yang mengakar kuat dalam memori sejarah Jawa pada masa kerajaan hingga kini. Meski demikian, pementasan dan kisah-kisahnya kental dengan pesan-pesan moral dan etik yang penting direnungkan sebagai sebuah wawasan dan refleksi untuk mawas diri.
 
Salah satu penjelasan menarik bagi penulis seperti ulasan Syekh Maimoen Zubair dari Sarang yang tersebar di YouTube. Kiai kharismatik ini mengaku suka dengan wayang sebagai sebuah sarana dakwah sekaligus hiburan. Nilai penting lain ialah berkenaan dengan selipan teladan dan ajaran yang diperankan masing-masing tokohnya. Beberapa tokoh utama seperti Puntodewo/Yudhistira versi lain disebut Prabu Darmokusumo, pemilik Jimat Kalimosodo, yang dikenal adil dan bijak, banyak tirakat dan pengayom wong cilik, seperti keakraban dengan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, yang keempat punokawan (pelayan) tersebut dengan kondisi fisik yang tidak lumrah, miskin, banyak utang, dan lucu, namun dilengkapi dengan etika dan unggah-ungguh yang berkualitas.
 
Tokoh yang tidak kalah sentral lagi adalah Werkudoro/Brotoseno/Bimo atau populer dengan sebutan Satrio Jodipati. Brotoseno dikenal memiliki Kuku Ponconoko, sebuah senjata pamungkas, untuk digunakan ketika menumpas kezaliman dan perang dengan Kurowo. Tokoh ini dikarakterkan tegas, pembela kebenaran meski dengan tutur bahasa yang blak-blakan. Selain itu, ada Arjuno/Janoko, dalam ulasan Mbah Moen, yang memiliki sifat danang joyo, “danang” artiya “memberi” joyo artinya “kejayaan”. Sementara, Nakulo atau Nengkulo dijelaskan dari akronim meneng anggonmu ngemawulo (khidmatlah dalam berbakti kepada Tuhan), Sadewo dengan makna bakale bisa dadi dewa (orang-orang suci, saleh-mushlihah).
 
Pada setiap pementasan, tentu ada tokoh yang dikarakterkan dua sifat sekaligus: antagonis-protagonis, meski pada akhirnya tetap satu yang dominan, tiada lain Pendito Durno atau Kiai Durno. Seorang Intelektual, pendito, Kiai, dan konsultan politik dan ketatanegaraan Prabu Duryudhana, penguasa Ngastinopuro. Kiai Durno atau Syeikh Durno memang banyak memiliki jasa sekaligus pengkader pandawa, dan kurawa dalam Yayasan Sukolimo yang dia miliki. Namun demikian, pewayangan Jawa menempatkan Durno sebagai pihak yang berseberangan dengan garis politik Prabu Darmo Kusumo, negeri Ngamarto atau Indraprasta dengan penasehat Kiai Kresno, pemegang Senjata Cokro dengan gelar sosrosumpeno (seribu penglihatan).
 
Wawasan umum bahwa Jamus Kalimosodo itu merupakan istilah yang digunakan oleh para wali sebagai upaya mengikrarkan masyarakat ke dalam pelukan Islam, masyarakat Jawa. Secara harfiah, kalimosodo terdiri dari dua kata, “kalimo” yang bisa diartikan kalimat dan sodo bisa diartikan syahadat. Kalimat ini dipahami oleh sebagai wujud pengakuan kepada risalah Tuhan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, rukun Islam yang pertama, yang secara berurutan yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Kiai Maimoen, juga menjelaskan bahwa “kalimo” itu juga bisa diartikan “lima” dan “sodo” artinya “dua belas”, dengan artian 5 tambah 12 sama dengan tujuhbelas, yang maksudnya adalah jumlah rakaat shalat. 
 
Arti ini menjelaskan bahwa berislam ialah menegakkan seluruh kewajiban waktu berupa shalat secara penuh, dan itulah aji atau jimat Muslim. Sebagaimana hadits yang sudah masyhur mengatakan, shalat adalah soko agomo (tiang agama). Selain sebagai penyangga, shalat merupakan perintah langsung saat Nabi Isra’ dan Mikraj. Karena saking krusialnya, shalat merupakan distingsi bagi Muslim dan penentu seluruh amal saat hari hisab.
 
Prabu Darmokusumo ialah seorang pemimpin yang dikenal merakyat dan adil. Yai Maimun mengibaratkan pemimpin seperti Jempol yang sanggup menjangkau semua kalangan dengan ragam latar belakang dan karakter yang berbeda. Seorang pemimpin melihat perbedaan sebagai sebuah peluang untuk berbagi peran dalam melakukan pembangunan. Jempol yang bisa bergaul dengan penuduh, penunggul, jari manis dan jenthik atau kelingking. Ragam kebutuhan yang berbeda-beda dengan simbol jari tersebut, tidak hanya dalam persoalan pertemuan fisik pemimpin dengan rakyat, melainkan kebijakannya pun terasa ke rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.
 
Muslim tentu berkeyakinan bahwa shalat dapat mencegah dari keburukan dan kemunkaran. Meskipun, orang tidak shalat juga berkesempatan untuk tidak munkar dan tidak buruk. Tentu lain kasus dalam konteks orang-orang beriman. Secara prinsipil, baik teisme maupun ateisme setuju dengan nilai integritas, kejujuran, tidak hoaks, kebenaran dan keadilan, cinta damai serta kasih adalah sesuatu yang prinsipil sebagai kriteria pemimpin, dengan tetap dalam koridor sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari luput dan salah. Oleh karena itu, diperlukan check and balance, yang dalam dunia tata negara dikenal dengan demokrasi dengan rumus triaspolitika sebagaimana diterapkan di negara kita, Indonesia.
 
Uraian yang dikemukakan di atas, menawarkan kesimpulan ringkas, tentang “asasinya spiritualitas” seorang pimpinan. Sebagai panutan, pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri, sebab status dia adalah penggembala bagi keberlangsungan kehidupan umat dan negara. Prabu Darmokusumo dengan Jimat Jamus Kalimosodo ingin membuktikan bahwa dia kesanggupan dan kesiapan menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Seorang pemimpin juga tidak boleh gleleng (semaunya sendiri), sebagaimana peringatan dalam lagu masa kanak-kanak, diduga gubahan Sunan Kalijogo untuk mengkritik dan protes halus tapi keras kepada Sultan Demak Bintoro, Trenggono yang semena-mena. “Gundul-gundul pacul-cul, gembelengan, nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan, wakul gelempang segane dadi sak ratan, wakul gelempang segane dadi sak rattan”.
 
 
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 


Terkait