Opini

Idul Fitri dan Tafsir Kemanusiaan

Kamis, 21 Juni 2018 | 04:00 WIB

Oleh: Moh Wasik 

Muslim Indonesia serentak menyambut Hari Raya Idul Fitri 1439 H pada hari Jumat (15/6). Pengakuan Hari Raya Idul Fitri ini tidak hanya secara de facto dari masyarakat yang melihat bulan secara langsung. Hari Raya Idul Fitri ini mendapat legitimasi secara de jure setelah diputuskan dan ditetapkan oleh Kementerian Agama RI melalui kesepakatan sidang isbat yang dibuat berdasarkan dua hal meliputi perhitungan hisab dan metode rukyat berdasarkan tim yang melakukan pengamatan.

Dari seluruh pelosok negeri baik perkotaan sampai di kampung halaman di lereng gunung yang berselendang awan,  semuanya memberikan apresiasitif yang tinggi. Dengan berbagi macam kegiatan: takbir keliling,  konvoi obor dan kegiatan lainya, semata-mata sebagai manifestasi ungkapan rasa senang, bahagia menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri.  Sebagian ada yang menyebutnya hari kemenangan karena telah menang melawan nafsu selama bulan Ramadhan, hari maaf-maafan kerena pada hari ini satu sama lain saling berjabat tangan memaafkan segala khilaf dan salah. Dalam bahasa Jawa disebut lebaran, dan saya sendiri menyebutnya dengan hari lahir kemanusiaan (brithday of humanity).

Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu dari hari-hari besar Islam yang setiap tahun menjadi ritual keagamaan. Hari raya ini adalah kulminasi dan klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa (Ramadhan). Idul Fitri memiliki makna yang berbanding lurus dengan orientasi terwujudnya kewajiban berpuasa itu sendiri yaitu manusia yang bertakwa. Yakni pribadi  yang bertauhid baik tauhid pribadi terlebih bertauhid sosial.

Dalam literatur Al-Qur'an, puncak kemenangan ini hanya milik orang-orang yang bertakwa. Yakni orang-orang yang mencintai Tuhan, mencintai dirinya, mencintai manusia dan kemanusiaan, mencintai tanah airnya, budaya, suku, ras dan perbedaan dengan tulus dan sepenuh hati serta menebar rahmat bagi seluruh manusia dan alam. 

Sebuah kewajiban dan menjadi salah satu pilar islam serte esensi beragama adalah zakat. Zakat merupakan instrumen untuk membantu perekonomian rakyat miskin. Dan ritual spritual keagamaan zakat ini tentu bergandengan dengan shalat Hari Raya Idul Fitri ini. Kita lihat dalam Al-Qur'an perintah kewajiban shalat rata-rata bersamaa satu ayat dengan perintah menunaikan zakat. Artinya tauhid untuk memperbagus pribadi seperti shalat harus sebanding dengan tauhid sosial--peduli dengan keadaan perekonomian masyarakat sekitar kita.

Zakat adalah sumber dana non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bermanfaat bagi penanggulangan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. Tentu pengelolaan zakat umat Islam dapat membantu tugas negara untuk menyejahterakan kehidupan rakyat sesuai amanat konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kemiskinan masih menjadi problem klasik yang belum terselesaikan di Indonesia saat ini. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik  (BPS) pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen).

(Baca: Meneguhkan Kebinekaan di Masa Penuh Hujatan)

Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad menyunahkan untuk diakhirkan waktu shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Hikmahnya, dengan melambatkan shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Dan dengan menyegerakan shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil kurban mereka.

Sikap beragama yang baik adalah manakala seorang  manusia memanusiakan manusia. Pada level yang tinggi membuat orang lain bahagia sebagai puncak kebaikan beragama itu sendiri. Maka kemudian timbul pertanyaan apabila ada orang yang beragama justeru menyusahkan orang lain. Padahal sejatinya teks agama tercipta untuk kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. 

Di sinilah nilai transendensi universalitas zakat-Idul Fitri. Di tengah menikmati kebahagiaan Hari Raya Idul Fitri ini tidak hanya golongan konglomerat, kaum borjuis, para penguasa dan orang-orang kaya saja; melainkan kebahagiaan itu juga sama-sama dinikmati kalangan pupolis, duafa dan fakir-miskin.

Di hari kemanusiaan ini kita disunahkan memperbanyak membaca kalimat takbir.  Bahkan dalam shalat Idul Fitri selain takbiratul ihram disunahkan takbir pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali takbir. Tidak berhenti di sini, khutbah shalat idul Fitri disunahkan dimuali dengan kalimat takbir, pada khutbah pertama sebanyak sembilan kali kalimat takbir dan khutbah kedua tujuh kali. 

(Baca: Ketupat Idul Fitri, Ketupat Kebangsaan)
Apa makna yang terkandung dalam ibadaha ini sehingga kalimat takbir harus diulang-ulang seperti itu? Bukankah kita satu bulan Ramadhan pada shalat terawih sudah mengulang-ulang kalimat takbir pada setiap rakaatnya? Seperti yang kita pahami takbir yakni mengagungkan kebesaran Allah bahwa Allah Maha Besar, sedangkan selain Allah adalah kecil (tidak berdaya, penuh dengan kekurangan).

Muslim yang secara hakikat memahami makna takbir, akan menjadi Muslim tawadlu dan santun. Ketika seseorang mengucapkan takbir maka ia harus ‘mengubur dalam-dalam’ dirinya yang merasa hebat, paling benar dan suci, serta merasa kebenaran ada pada pihaknya. Jangan sampai lisan mengucapkan, takbir tapi masih mempertuhankan dan metakbirkan egonya.  Ego semestinya sudah terbakar oleh pembakar spritual Ramadhan selama satu bulan total.

Maka Muslim yang mengucap takbir, sejatinya dia akan merunduk dan merendahkan dirinya, mengakui kelemahan dirinya di depan kemahabesaran Allah. Muslim mengucapkan takbir muncul dalam dirinya sifat merangkul semua makhluk ciptaan Allah. Muslim yang bertakbir sadar bukan manusia yang menentukan nasib sesama manusia, tapi hanya Allah dan kita sesama manusia sama tidak ada atribusi miskin-kaya, penindas-tertindas, borjuis-proletar, elitis-populis. Dengan demikian kalimat takbir ini akan menghapus sifat dominasi manusia dengan manusia.

Harus kita akui pandangan Karl Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah pertarungan antarkelas. Kalimat kebesaran takbir ini akan menguburkan sifat eksploitasi manusia atas manusia,  karena sampai kapan pun tidak bisa dibenarkan eksploitasi manusia oleh manusia atas alasan apa pun, baik kapitalisme, fasisme, kolonialisme, imperialisme, radikalisme, terorisme dan autentikasi sakralitas agama. 

Di dalam konteks ini, Islam lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif. Sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perorangan maupun secara kolektif, dan untuk tujuan mahluk manusia keseluruhan. Dengan pemahaman luas dalam arti memaknai sebagai hari lahir mewujudkan kemanusiaan, maka dapat dipastikan akan memancarkan bertambahnya kekuatan iman.

Melalui instrumen Idul Fitri ada usaha untuk senantiasa meng-up grad ketakwaannya, bukan memperbaharui pakaian dan aksesoris semata. Dalam dunia pesantren dijumpai dengan ungkapan Laysa al- 'id liman labisal jadid. Wa lakinnal ‘id liman tha'athuhu tazid. Wa lays al- 'id liman tajmal al-libas wa al-markub. Innamal 'id liman gufirat lahu al-dzunub. Idul Fitri bukan milik mereka yang berpakaian baru. Namun, milik mereka yang ketaatannya meningkat. Bukan juga milik mereka yang membaguskan busana dan kendaraan,tetapi ia milik orang yang dosa-dosanya diampuni.

(Baca: Diperlukan Banyak Sosok yang Mampu Implementasikan Gagasan Gus Dur)
Idul Fitri bukanlah panggung memamerkan baju, perhiasan dan atribusi jabatan pribadi. Idul Fitri adalah media dan momentum semakin berkualitasnya iman dan ketakwaan kepada Allah. Lewat Idul Fitri mampu menebarkan cahaya Cinta pada manusia, tidak mencaci,  tidak membunuh kemanusiaan dan mengganggu stabilitas nasional seperti tindakan terorisme akhir-akhir ini.

Lewat Idul Fitri juga  tidak memutus pendidikan anak bangsa, atau masyarakat menderita akibat tindakan korupsi yang tidak kunjung selasai bahkan beberapa kasus sengaja dihilangkan. Idul Fitri artinya lahir kembali sebagai manusia menuju kemenangan melawan sifat-sifat prikemanusian. Inilah indikator keberhasilan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Fenomena yang ada mall, toko-toko baju dan gerai-gerai fashion menjelang Lebaran, semuanya akan penuh sesak dengan manusia yang hendak membeli atau memborong pakaian baru. Ironis, jika hari raya ini hanya sebatas berhenti pada level ini, maka Idul Fitri berubah menjadi ladang emas para kapitalis dan korporasi. Alih-alih mewujudkan kemenangan,  yang ada akan menjadi budak dan penyumbang pendapatan bagi kaum kapitalis. Fakta mengatakan Momen Hari Raya Idul Fitri dianggap sangat berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga, baik dalam hal belanja bahan-bahan pokok hingga jenis barang kebutuhan yang lainnya.

Sebagai sebuah solusi kebangsaan dan mewujudkan  nilai-nilai kemanusiaan Idul Fitri harus dipraktikkan sebagai perekat meneguhkan persaudaraan. Dalam konteks kebangsaan, Idul Fitri bermakna untuk memperkooh persatuan nasional, menumbuhkan bangsa berjiwa keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan sekaligus. Idul Fitri melahirkan sifat toleransi dan inklusif dengan perbedaan. Idul Fitri juga untuk menebar keadilan pada setiap lapisan masyarakat. Muslim yang bersemayam dalam dirinya kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.

Wallahu a'lam bish shawab.

Penulis adalah Ketua BEM I IAIN Jember dan Koordinator Keilmuan PMII Komisariat IAIN Jember.


Terkait