Indonesia memiliki bonus demografi yang sangat besar menjelang 2045, tahun emas satu abad kemerdekaan. Namun, capaian tersebut tidak akan berarti tanpa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul secara spiritual, intelektual, dan fisik. Lembaga pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan tersebar luas di seluruh penjuru Nusantara, memegang peran sentral dalam menyiapkan generasi muda yang berkualitas, sehat jasmani dan rohani.
Pesantren telah terbukti melahirkan banyak tokoh nasional yang berperan dalam perjuangan dan pembangunan bangsa. KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Abdurrahman Wahid hingga ulama kontemporer seperti KH Ma’ruf Amin merupakan contoh tokoh yang dibesarkan dalam ekosistem pesantren. Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masalah gizi santri masih menjadi tantangan serius, terutama di pesantren-pesantren kecil dan tradisional.
Menurut Rizal Damanik, pakar pangan dan gizi IPB, “Gizi buruk bukan hanya soal kemiskinan, tetapi juga soal ketidaktahuan.” Hal ini diperparah oleh pola makan monoton di sebagian pesantren yang masih bergantung pada karbohidrat dan lauk sederhana, serta kurangnya variasi sayur, protein hewani, dan buah. Bahkan, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa anemia remaja dan stunting masih ditemukan di kalangan pelajar, termasuk di lingkungan pondok pesantren.
Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), menjaga kesehatan dan keseimbangan jasmani merupakan bagian dari tanggung jawab spiritual. KH Sahal Mahfudh (almarhum), dalam berbagai pengajiannya, menekankan bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari fardhu kifayah jika dilakukan bersama-sama, bahkan bisa menjadi fardhu 'ain jika menyangkut tanggung jawab individu.
Al-Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan pentingnya menjaga tubuh sebagai sarana ibadah. Dalam Kitab al-Adab fi al-Din, beliau menulis:
"Tubuh adalah kendaraan menuju akhirat, jika lemah dan sakit maka amal pun menjadi sulit."
Demikian pula, dalam konteks fiqih, para ulama pesantren dari kalangan NU dan Aswaja menyepakati bahwa makanan yang dikonsumsi tidak hanya harus halal, tetapi juga thayyib (baik secara gizi dan kebersihan). Hal ini merujuk pada firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 168:
"Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (thayyib), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan..."
Menurut Didin Mukodim, ahli pertanian terpadu pesantren, “Jika pesantren diberdayakan menjadi pusat produksi pangan mandiri, maka bukan hanya menyehatkan santri, tapi juga memperkuat ekonomi pesantren dan masyarakat sekitar.”
Baca Juga
NU dan Kepemimpinan Nasional
Pesantren memiliki potensi besar untuk mandiri secara pangan, terutama karena banyak pesantren memiliki lahan, SDM, dan struktur sosial yang kuat. Namun, hal ini memerlukan transformasi paradigma: dari pola konsumtif menjadi produktif, dari ketergantungan pada bantuan menjadi basis kemandirian. Santri perlu dilibatkan dalam proses produksi pangan, pengolahan, hingga edukasi gizi sebagai bentuk pembelajaran kontekstual yang aplikatif.
KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU, menyampaikan bahwa “Santri adalah pejuang yang tidak hanya bertugas menjaga akidah, tetapi juga menjaga kehidupan dan kesehatan umat. Maka penting mengajarkan mereka untuk mandiri dan kuat secara lahir maupun batin.”
Santri yang sehat secara gizi dan mandiri secara pangan akan menjadi aset bangsa dalam mengisi pembangunan tersebut. Mereka akan mampu menjadi penggerak transformasi sosial, dai yang kuat berdakwah, guru yang cerdas mendidik, dan pemimpin yang bijak menyejahterakan.
Maka, penting bagi pesantren untuk bertransformasi menjadi pusat pendidikan gizi, kemandirian pangan, dan etika hidup sehat, agar tidak hanya mencetak ahli fikih, tetapi juga ahli pertanian, pengusaha makanan halal, dan pegiat kesehatan Islami yang mumpuni.
Indonesia tengah bersiap menyambut Indonesia Emas 2045, momentum 100 tahun kemerdekaan. Salah satu pilar utama untuk mewujudkan visi besar ini adalah penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat, produktif, dan berdaya saing global. Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh memiliki peran strategis.
Namun, tantangan besar yang masih dihadapi adalah tingkat kesadaran gizi santri yang rendah, keterbatasan akses terhadap makanan bergizi, dan belum optimalnya pengelolaan kemandirian pangan dalam lingkungan pesantren. Maka, diperlukan gerakan transformasi santri sadar gizi yang ditopang dengan pendekatan Badan gizi nasional (BGN) dan nilai-nilai keislaman.
Posisi Strategis Pesantren dalam Mewujudkan Indonesia Emas
Menjelang satu abad kemerdekaan Indonesia tahun 2045, negara ini membutuhkan pilar-pilar kuat untuk menopang visi Indonesia Emas. Salah satu pilar tersebut adalah keberadaan lembaga pendidikan Islam, yaitu pesantren. Selama berabad-abad, pesantren telah menjadi pusat transformasi sosial, keagamaan, dan moral bangsa. Peran strategis ini harus terus diperkuat, terutama dalam membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan tangguh secara sosial.
Pertama, pusat pendidikan karakter dan akhlak. Pesantren sejak awal tidak sekadar mengajarkan ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, ia menanamkan karakter mulia: kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, dan kesederhanaan. Nilai-nilai ini ditanamkan secara konsisten, bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga melalui interaksi santri dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Inilah yang menjadikan lulusan pesantren memiliki integritas, keuletan, serta kekuatan mental yang kokoh.
Kedua, lumbung SDM dengan spirit keagamaan. Santri bukan hanya pelajar, melainkan calon pemimpin masa depan yang mengemban nilai-nilai keislaman. Di tangan pesantren, generasi muda ditempa untuk menjadi pribadi yang memiliki kepekaan sosial, kecintaan pada ilmu, serta daya tahan terhadap tantangan zaman. Mereka dibesarkan dalam suasana yang mengutamakan kebersamaan, kepedulian, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu. Dari pesantren, lahirlah figur-figur yang mampu menggabungkan antara kecerdasan akal dan keteduhan jiwa.
Ketiga, potensi ketahanan pangan lokal. Pesantren tidak hanya memiliki kapasitas pendidikan, tetapi juga memiliki potensi besar dalam mewujudkan ketahanan pangan lokal. Banyak pesantren memiliki lahan pertanian, peternakan, dan bahkan perikanan. Dengan manajemen dan pelatihan yang tepat, pesantren bisa menjadi model pertanian terpadu yang berkelanjutan. Kemandirian pangan ini tidak hanya menopang kebutuhan internal pesantren, tetapi juga bisa menjadi sumber daya ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Dengan tiga kekuatan strategis ini—pendidikan karakter, pengembangan SDM religius, dan ketahanan pangan—pesantren dapat memainkan peran sentral dalam menyongsong Indonesia Emas. Namun, untuk mencapai itu semua, pesantren juga harus membuka diri pada inovasi dan kolaborasi lintas sektor. Maka, sinergi antara pemerintah, pesantren, lembaga masyarakat, dan dunia usaha menjadi mutlak untuk diwujudkan.
Transformasi pesantren melalui pendekatan Badan Gizi Nasional adalah jalan strategis menuju SDM unggul Indonesia Emas 2045. Santri yang bergizi baik, sehat, dan mandiri akan menjadi kekuatan baru bangsa. Maka, sudah saatnya pesantren tidak hanya menjadi pusat keilmuan Islam, tetapi juga pelopor kesehatan, ketahanan pangan, dan kemandirian ekonomi.
Upaya ini tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan sinergi antara pesantren, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Dengan nilai Islam sebagai landasan, dan gizi sebagai senjata, santri siap menjadi bagian penting dalam membangun peradaban Indonesia yang gemilang.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam klasik memiliki peran historis dan strategis dalam pembentukan karakter bangsa. Kini, di tengah tantangan global dan tuntutan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045, pesantren dituntut bukan hanya sebagai pusat pembinaan akhlak dan ilmu keislaman, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan santri dalam aspek kesehatan dan gizi yang seimbang.
Transformasi pemahaman tentang pentingnya makanan bergizi di kalangan santri adalah keniscayaan. Hardinsyah, Ketua PERGIZI PANGAN Indonesia, menegaskan bahwa “Ketahanan dan kecerdasan bangsa tak bisa dilepaskan dari kualitas gizi anak mudanya.” Artinya, pesantren harus mulai menyusun strategi sadar gizi secara sistemik, mulai dari dapur pesantren hingga kurikulum pembelajaran.
Di sisi lain, KH Ali Mustafa Yaqub (alm) dalam kuliah tafsirnya menyebutkan bahwa “Islam sangat menekankan pentingnya menjaga tubuh dan kesehatan sebagai prasyarat menjalankan ibadah dengan sempurna.” Dalam perspektif fiqih thaharah, tubuh yang bersih dan sehat adalah bagian dari kesempurnaan ibadah. Maka, menciptakan lingkungan pesantren yang bersih, sehat, dan bergizi merupakan bagian dari implementasi nilai-nilai syariah.
Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI 2019-2024 dan ulama NU, menekankan bahwa pesantren hari ini harus menjadi pusat pemberdayaan ekonomi dan kemandirian umat. Dalam konteks gizi, ini berarti pesantren harus bertransformasi menjadi pusat ketahanan pangan lokal, yang tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan santrinya sendiri, tetapi juga memberi dampak ekonomi kepada masyarakat sekitarnya.
Program BGN (Badan Gizi Nasional) yang dipadukan dengan kearifan lokal dan nilai-nilai Islam menjadi jembatan ideal dalam mendorong santri menjadi generasi yang sehat fisiknya, cerdas akalnya, mandiri kehidupannya, dan sadar terhadap tanggung jawab sosial dan keagamaannya
Santri bukan lagi hanya sebagai objek pembinaan, tetapi harus diposisikan sebagai subjek transformasi, agen perubahan dalam gerakan sadar gizi dan hidup sehat. Hal ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang mengandalkan SDM unggul sebagai pondasi utama pembangunan.
Supendi Samian, Ketua STIDKI NU Indramayu