Oleh Islah Gusmian
Pada tanggal 3 Maret lalu, penulis
diundang Sekolah Tinggi Agama Islam Khozinatul Ulum, Blora untuk bicara terkait
etika Islam dalam pemanfaatan sumber daya alam di tengah arus industrialisasi.
Diskusi ini menarik bukan hanya dari sisi temanya, tetapi juga penyelenggara
dan lokasinya, yaitu STAI yang berbasis pesantren dan Blora sebagai wilayah
dengan sumber daya alam melimpah.
Berbicara pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak bisa lepas
dari kisah Revolusi Industri, sebuah era peralihan mendasar dan revolusioner
atas pekerjaan-pekerjaan berbasis tradisional ke teknologi mesin. Perekonomian
“agrikultural” digeser ke “industrial”; “peradaban batu” (stone age)
bergeser menuju “era industri”. Transformasi secara besar-besaran ini terjadi
sejak abad ke-18, tepatnya tahun 1785, di Inggris kemudian meluas di berbagai
negara Eropa dan belahan dunia.
Beragam teknologi ditemukan pada mulanya untuk memudahkan dan mensejahterakan
umat manusia. Tetapi dalam perkembangannya, gaya hidup manusia beralih menjadi
konsumtif, menumpuk dan memupuk hasrat yang berlebih. Terjadilah “revolusi
konsumsi”. Sumber daya alam dan lingkungan dikelola bukan sekadar untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia, lebih dari itu untuk memuaskan segala hasrat
dan keinginan mereka.
Berbagai bencana akibat eksploitasi alam
mulai akrab dalam kehidupan. Pencemaran udara oleh carbon dioksida akibat
industrialisasi yang massif menjadikan bumi semakin panas. Kutub utara dan
selatan mencair mengakibatkan permukaan air laut naik. Hujan asam yang merusak
hutan dan danau-danau. Kawasan Hutan menciut karena dirusak untuk lahan
industri dan pemukiman. Kisah inilah yang oleh Arnold Toynbee disebut sebagai
awal terjadinya “degradasi lingkungan” dan terjadilah apa yang diistilahkan
Seyyed Hossen Nasr sebagai “nestapa manusia modern”.
Postulat-postulat Islam
Lantas bagaimana Islam memberikan
kerangka etis terkait masalah pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan?
Pertama, mengembangkan kesadaran ekoteologis, yakni memahami Tuhan,
sekaligus memahami manusia dan alam. Berbicara tentang pemanfaatan alam dan
lingkungan hidup, selaiknya dikaitkan dengan bagaimana cara pandang kita dalam
memahami Tuhan, manusia, dan alam serta hubungan antara ketiganya. Fazlur
Rahman telah mengulas tiga topik ini dalam Mayor
Themes of the Qur’an. Hanya saja ia belum sampai mengaitkan
kajian teologi dengan isu pemanfaatan lingkungan hidup.
Teologi adalah ilmu tentang Tuhan dengan segala hal yang melingkupinya. Dalam
sejarah, kajian ini lebih bersifat “teosentris”. Padahal, bertauhid manfaat
sejatinya adalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Munculnya istilah
ekoteologi adalah sebagai bentuk kesadaran dan pemahaman baru bahwa keimanan
manusia kepada Tuhan selaiknya dihubungkan dengan makhluk hidup dan lingkungan.
Kita tahu bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan.
Al-Qur’an memberikan informasi secara tegas bahwa ruh kehidupan manusia ini
berasal dari ruh Allah. Setidaknya bisa dilihat dalam dua tempat; QS. Al-Hijr
[15]: 29 dan Al-Anbiya [21]: 91. Pernyataan ini secara simbolik
memberikan isyarat bahwa citra Allah semestinya terpancar pada setiap diri
manusia. Hal ini merupakan fitrah keterciptaan manusia. Dalam artikel the
Concept of Human Perfection, William Chittick
menyakini pandangan yang demikian itu. Singkatnya, dari ayat tersebut manusia
selayaknya mewujudkan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan dunia yang
semuanya itu bersumber dari Allah. Konsepsi semacam ini dipertegas kembali oleh
Nabi Muhammad Saw, bahwa kesempurnaan iman seseorang ditentukan oleh kemampuannya
memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada orang lain. Dengan demikian, iman
yang baik adalah iman yang dibuktikan secara historis dan sosiologis, sehingga
secara nyata bisa dirasakan oleh umat manusia dan alam.
Dengan pemahaman yang demikian, bertauhid juga harus dibuktikan dengan sikap
baik bukan hanya kepada Tuhan dan manusia, tetapi juga alam semesta. Selain habl
min-Allah dan habl min-‘l-nas penting dikembangkan
ke arah habl min-‘l-âlam wa ‘l-bî’ah. Dalam
Al-Qur’an banyak ayat yang bicara tentang alam dan lingkungan. Bahkan ada
sejumlah surat yang dinamai dengan nama hewan, seperti Al-Baqarah (sapi),
Al-Anfâl (binatang ternak), Al-Nahl (lebah), Al-Naml (semut), dan nama
semesta seperti Al-Ra’du (halilintar), Al-Nûr (cahaya), Al-Qamar (bulan), Al-Syams
(matahari), Al-Lail (malam), Al-Najm (bintang). Ayat-ayat yang bicara tentang
alam, manusia, dan ekosistem dalam Al-Qur’an lebih sering dikaitkan dengan iman
dan berzikir kepada Allah. Misalnya, QS. Al-Dâriyât [51]: 49, Yâsîn [36]: 36,
80. Dan segalanya ditegaskan oleh Al-Qur’an akan bermuara kepada-Nya (QS.
Al-An’am [6]: 38). Dalam ayat ini dikisahkan binatang-binatang dan burung yang
ada di bumi semuanya akan dihimpun menuju kepada Allah.
Dalam kerangka ekoteologis harus dibangun berpikir teleologis. Al-Qur’an
sendiri mengajarkan kepada kita bahwa kosmos semesta ini diciptakan Tuhan
“bukan tanpa tujuan” (QS. Al-Jasiyah [45]: 22). Pandangan yang demikian
mengajarkan kita untuk melakukan tindakan dan sikap terhadap alam dengan
menyelaraskannya pada unsur-unsur dalam tujuan tersebut. Di sinilah sebenarnya,
keimanan tersebut juga dipahami dalam kerangka menyelaraskan hidup dengan sunah
dan ekosistem alam.
Dengan kesadaran bahwa Allah sebagai pusat rotasi hidup, maka iman harus
mensejarah dan historis. Adanya nilai teleologis dalam penciptaan alam
menyadarkan umat manusia tentang dua peran pokok yang dibebankan kepada
manusia, yaitu sebagai khalifatullâh dan ‘abdullâh. Khalifatullâh merupakan
tugas sejarah bagi setiap manusia, sedangkan ‘abdullâh adalah
kesadaran spiritualitasnya. Kemurnian iman dan tauhid berada dalam ruang ‘abdullâh, sedangkan
pembuktiannya berada dalam sejarah. Itulah ruang khalifatullâh.
Kedua, menumbuhkan kesadaran ekosufisme sebagai sumber kerangka etis.
Sebagai salah satu khazanah Islam, tasawuf atau sufisme, oleh sebagian orang
seringkali dipandang nyiyir: dianggap anti dunia dan karenanya tidak memberikan
spirit produktif dalam kehidupan nyata. Istilah ekosufisme di sini dipakai
untuk mengaitkan nilai-nilai dalam ajaran tasawuf dengan eksplorasi,
pengelolaan, dan pelestarian lingkungan dan alam. Pengkaitan ini penting karena
dalam ajaran tasawuf terdapat postulat penting tentang gagasan etik dalam
aktivitas pemberdayaan dan pemanfaatan alam dan lingkungan hidup serta
mengelola kehidupan manusia.
Dunia tasawuf telah memberikan kerangka nilai etis dalam berbagai konsep yang
telah dirumuskan oleh para sufi. Konsep-konsep tersebut berkait erat dengan
usaha menjaga keberlangsungan lingkungan dan alam. Konsep zikir,
faqr, sabr, zuhd, hubb, dan yang lain secara
universal menggerakkan manusia agar hidupnya selaras dengan sunah Allah, yaitu
ekosistem alam.
Kerangka Etis
Berpijak pada dua prinsip utama di atas,
maka prinsip etis dalam pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan hidup haruslah
mencerminkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, Pemanfaatan lingkungan hidup haruslah
mempertimbangkan aspek “kemaslahatan”umat manusia. Dalam maqâshid
al-syar’iyyah disebutkan bahwa ada lima hal yang harus dilindungi
sebagai al-dlarûriyyat al-khams, yaitu
menjaga agama (hifdz al-dîn), jiwa (hifdz al-nafs), anak
keturunan (hifdz al-nasl), kekayaan atau properti (hifdz al-mâl),
dan akal (hifdz al-‘aql). Oleh karena itu, pemanfaatan alam dan
lingkungan hidup haruslah mempertimbangkan aspek perlindungan dan kemasalatan
manusia.
Praktik-praktik pemanfaatan alam dan lingkungan hidup yang secara nyata
mengancam keberlangsungan jiwa manusia, secara etis haruslah ditolak. Kaidah
ushul fiqih telah memberikan kerangka konseptual: dar’ul
mafâsid muqaddamun ‘ala al-jalb al-mashâlih. ‘Izzuddin
bin ‘Abdus Salam dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm menjelaskan
pengertian mafsadat sebagai rasa sakit serta
rasa sedih dan segala faktor penyebabnnya. Adapun mashlahat adalah
kelezatan (al-ladzat) dan kesenangan (al-afrah) dengan berbagai
faktor penyebabnya.
Pengertian menjaga diri (hifdz al-nafs) bukan hanya diletakkan pada
konteks masa kini, tetapi juga masa yang akan dijalani oleh generasi mendatang.
Oleh karena itu, faktor mashlahat dan mafsadat tersebut
haruslah mempertimbangkan nasib kehidupan generasi mendatang. Islam mempunyai
prinsip melarang umat manusia meninggalkan generasi yang lemah (QS. Al-Nisa’
[4]: 9), akibat persoalan-persoalan yang mereka lakukan dalam berinteraksi
sesama manusia dan dengan lingkungan serta alam semesta.
Kedua, pemanfaatan lingkungan hidup haruslah mempertimbangkan aspek
menjaga dan merawat keberlangsungan serta kemaslahatan alam, tumbuhan, dan
binatang. Konsep maqâshid al-syar’iyyah yang
selama ini kita kenal memberi kesan bersifat sangat antroposentris. Di dalamnya, yang menjadi pusat pembicaraan adalah
manusia. Alam semesta dan lingkungan hidup tampak diabaikan. Oleh karena itu,
selain habl minallâh dan habl
minan-nâs, diperlukan kesadaran habl
minal ‘âlam wa al-bi’ah, yaitu memahami fungsi dan kondisi air, tanah, udara,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan serta kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan
umat manusia. Terjadinya kerusakan alam dan kerakusan umat manusia
salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kesadaran dan pemahaman yang baik
tentang alam, tumbuhan, dan binatang serta fungsi-fungsinya.
Al-Qur’an telah memberikan inspirasi penting terkait dengan masalah ini.
Misalnya, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana air merupakan sesuatu yang vital
dalam kehidupan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa segala sesuatu yang hidup
diciptakan dari air (QS. Al-Anbiya [21]: 30). Kehidupan dengan demikian sangat
membutuhkan air (QS. Al-Hajj [22]: 5). Karena perannya yang penting tersebut,
air tidak boleh dikuasai dan dimonopoli oleh kalangan tertentu, tetapi
digunakan bersama-sama untuk kemaslahatan umat manusia. Nabi Saw telah
mengingatkan kita, “Orang Islam berserikat dalam tiga hal: rumput, air, dan
api.” Hadis ini mengisyaratkan bahwa air tidak boleh dikuasai oleh
koorporasi kapital, tetapi haruslah dikelola oleh negara untuk kesejahteraan
rakyat.
Al-Qur’an juga mengajarkan prinsip menjaga dan merawat udara. Misalnya,
Al-Qur’an mengaitkan iman dengan kebersihan, fungsi angin sebagai pendorong
kapal (QS. Yunus [10]: 22) dan sebagai pendorong hujan (QS. Al-A’raf [7]: 57).
Kita tahu sekarang ini udara begitu kotor dan lapisan ozon terkisis oleh polusi
yang ditimbulkan dari limbah pabrik.
Alam dan tumbuhan sebenarnya mampu melayani kebutuhan umat manusia, tetapi ia
tak mampu melayani semua hasrat dan kerasukannya. Islam mengajarkan hidup
kebersahajaan. Manusia sebenarnya tak perlu rakus dan menjadi konsumerisme
dalam menjalani hidup. Dengan kesadaran ini, maka alam dan seluruh isinya
selaiknya diposisikan sebagi subjek yang kedudukannya setara dengan kedudukan
manusia, karena kerusakan alam pada akhirnya juga akan berakibat buruk bagi
keberlangsungan kehidupan umat manusia.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang mempertimbangkan aspek kemaslahan umat manusia
haruslah didukung dengan kebijakan politik dan hukum oleh pemerintah. Tujuannya
adalah menggerakkan kesadaran melalui prinsip perundang-undangan yang mengikat
seluruh warga negara.
Kebijakan pemerintah haruslah berorientasi pada kemaslahatan umat dan
kemaslahatan kehidupan alam dan lingkungan, bukan sekadar mengejar keuntungan
kapital yang bersifat sesaat. Sungguh merusak alam jauh lebih mudah ketimbang
merawat dan menjaganya.Pengertian mashlahah dalam
kaidah tasharruful imâm ala al-ra’iyah manûtun bil mashlahah, bukan
hanya terkait dengan rakyat (ummah) tetapi juga lingkungan hidup (bi’ah).
Sudah saatnya pesantren dan kampus-kampus Islam memberikan rumusan etis dalam
perspektif Islam kepada pemerintah terkait pemanfaatan lingkungan secara
konseptual dan sistematis. Sudah saatnya dirumuskan teologi lingkungan, fiqih
lingkungan, dan tafsir Al-Qur’an bidang alam dan lingkungan menjadi salah satu
mata kuliah yang diajarkan di kampus. Pesantren dan kampus selaiknya mengambil
peran dalam penyusunan konsep perundang-undangan dengan berbasis pada kaidah
ushul fiqih untuk didesakkan kepada negara dalam rangka memberikan jaminan politik
dan hukum bagi rakyat dalam pemanfaatan lingkungan hidup.
Penulis adalah Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta