Opini

Etika Islam Memanfaatkan Sumberdaya Alam

Selasa, 8 Maret 2016 | 01:15 WIB

Oleh Islah Gusmian

Pada tanggal 3 Maret lalu, penulis diundang Sekolah Tinggi Agama Islam Khozinatul Ulum, Blora untuk bicara terkait etika Islam dalam pemanfaatan sumber daya alam di tengah arus industrialisasi. Diskusi ini menarik bukan hanya dari sisi temanya, tetapi juga penyelenggara dan lokasinya, yaitu STAI yang berbasis pesantren dan Blora sebagai wilayah dengan sumber daya alam melimpah.


Berbicara pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak bisa lepas dari kisah Revolusi Industri, sebuah era peralihan mendasar dan revolusioner atas pekerjaan-pekerjaan berbasis tradisional ke teknologi mesin. Perekonomian “agrikultural” digeser ke “industrial”; “peradaban batu” (stone age) bergeser menuju “era industri”. Transformasi secara besar-besaran ini terjadi sejak abad ke-18, tepatnya tahun 1785, di Inggris kemudian meluas di berbagai negara Eropa dan belahan dunia.


Beragam teknologi ditemukan pada mulanya untuk memudahkan dan mensejahterakan umat manusia. Tetapi dalam perkembangannya, gaya hidup manusia beralih menjadi konsumtif, menumpuk dan memupuk hasrat yang berlebih. Terjadilah “revolusi konsumsi”. Sumber daya alam dan lingkungan dikelola bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, lebih dari itu untuk memuaskan segala hasrat dan keinginan mereka.


Berbagai bencana akibat eksploitasi alam mulai akrab dalam kehidupan. Pencemaran udara oleh carbon dioksida akibat industrialisasi yang massif menjadikan bumi semakin panas. Kutub utara dan selatan mencair mengakibatkan permukaan air laut naik. Hujan asam yang merusak hutan dan danau-danau. Kawasan Hutan menciut karena dirusak untuk lahan industri dan pemukiman. Kisah inilah yang oleh Arnold Toynbee disebut sebagai awal terjadinya “degradasi lingkungan” dan terjadilah apa yang diistilahkan Seyyed Hossen Nasr sebagai “nestapa manusia modern”.

 

Postulat-postulat Islam

Lantas bagaimana Islam memberikan kerangka etis terkait masalah pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan?


Pertama, mengembangkan kesadaran ekoteologis, yakni memahami Tuhan, sekaligus memahami manusia dan alam. Berbicara tentang pemanfaatan alam dan lingkungan hidup, selaiknya dikaitkan dengan bagaimana cara pandang kita dalam memahami Tuhan, manusia, dan alam serta hubungan antara ketiganya. Fazlur Rahman telah mengulas tiga topik ini dalam
 Mayor Themes of the Qur’an. Hanya saja ia belum sampai mengaitkan kajian teologi dengan isu pemanfaatan lingkungan hidup.


Teologi adalah ilmu tentang Tuhan dengan segala hal yang melingkupinya. Dalam sejarah, kajian ini lebih bersifat “teosentris”. Padahal, bertauhid manfaat sejatinya adalah untuk  manusia, bukan untuk Tuhan. Munculnya istilah ekoteologi adalah sebagai bentuk kesadaran dan pemahaman baru bahwa keimanan manusia kepada Tuhan selaiknya dihubungkan dengan makhluk hidup dan lingkungan. Kita tahu bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan.


Al-Qur’an memberikan informasi secara tegas bahwa ruh kehidupan manusia ini berasal dari ruh Allah. Setidaknya bisa dilihat dalam dua tempat; QS. Al-Hijr [15]: 29 dan Al-Anbiya  [21]: 91. Pernyataan ini secara simbolik memberikan isyarat bahwa citra Allah semestinya terpancar pada setiap diri manusia. Hal ini merupakan fitrah keterciptaan manusia. Dalam artikel
 the Concept of Human Perfection, William Chittick menyakini pandangan yang demikian itu. Singkatnya, dari ayat tersebut manusia selayaknya mewujudkan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan dunia yang semuanya itu bersumber dari Allah. Konsepsi semacam ini dipertegas kembali oleh Nabi Muhammad Saw, bahwa kesempurnaan iman seseorang ditentukan oleh kemampuannya memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada orang lain. Dengan demikian, iman yang baik adalah iman yang dibuktikan secara historis dan sosiologis, sehingga secara nyata bisa dirasakan oleh umat manusia dan alam. 


Dengan pemahaman yang demikian, bertauhid juga harus dibuktikan dengan sikap baik bukan hanya kepada Tuhan dan manusia, tetapi juga alam semesta. Selain
 habl min-Allah dan habl min-‘l-nas penting dikembangkan ke arah habl min-‘l-âlam wa ‘l-bî’ah. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang bicara tentang alam dan lingkungan. Bahkan ada sejumlah surat yang dinamai dengan nama hewan, seperti Al-Baqarah (sapi), Al-Anfâl (binatang ternak), Al-Nahl (lebah), Al-Naml (semut), dan nama semesta seperti Al-Ra’du (halilintar), Al-Nûr (cahaya), Al-Qamar (bulan), Al-Syams (matahari), Al-Lail (malam), Al-Najm (bintang). Ayat-ayat yang bicara tentang alam, manusia, dan ekosistem dalam Al-Qur’an lebih sering dikaitkan dengan iman dan berzikir kepada Allah. Misalnya, QS. Al-Dâriyât [51]: 49, Yâsîn [36]: 36, 80. Dan segalanya ditegaskan oleh Al-Qur’an akan bermuara kepada-Nya (QS. Al-An’am [6]: 38). Dalam ayat ini dikisahkan binatang-binatang dan burung yang ada di bumi semuanya akan dihimpun menuju kepada Allah.


Dalam kerangka ekoteologis harus dibangun berpikir teleologis. Al-Qur’an sendiri mengajarkan kepada kita bahwa kosmos semesta ini diciptakan Tuhan “bukan tanpa tujuan” (QS. Al-Jasiyah [45]: 22). Pandangan yang demikian mengajarkan kita untuk melakukan tindakan dan sikap terhadap alam dengan menyelaraskannya pada unsur-unsur dalam tujuan tersebut. Di sinilah sebenarnya, keimanan tersebut juga dipahami dalam kerangka menyelaraskan hidup dengan sunah dan ekosistem alam.


Dengan kesadaran bahwa Allah sebagai pusat rotasi hidup, maka iman harus mensejarah dan historis. Adanya nilai teleologis dalam penciptaan alam menyadarkan umat manusia tentang dua peran pokok yang dibebankan kepada manusia, yaitu sebagai
 khalifatullâh dan ‘abdullâh. Khalifatullâh merupakan tugas sejarah bagi setiap manusia, sedangkan ‘abdullâh adalah kesadaran spiritualitasnya. Kemurnian iman dan tauhid berada dalam ruang ‘abdullâh, sedangkan pembuktiannya berada dalam sejarah. Itulah ruang khalifatullâh.


Kedua, menumbuhkan kesadaran ekosufisme sebagai sumber kerangka etis. Sebagai salah satu khazanah Islam, tasawuf atau sufisme, oleh sebagian orang seringkali dipandang nyiyir: dianggap anti dunia dan karenanya tidak memberikan spirit produktif dalam kehidupan nyata. Istilah ekosufisme di sini dipakai untuk mengaitkan nilai-nilai dalam ajaran tasawuf dengan eksplorasi, pengelolaan, dan pelestarian lingkungan dan alam. Pengkaitan ini penting karena dalam ajaran tasawuf terdapat postulat penting tentang gagasan etik dalam aktivitas pemberdayaan dan pemanfaatan alam dan lingkungan hidup serta mengelola kehidupan manusia.


Dunia tasawuf telah memberikan kerangka nilai etis dalam berbagai konsep yang telah dirumuskan oleh para sufi. Konsep-konsep tersebut berkait erat dengan usaha menjaga keberlangsungan lingkungan dan alam. Konsep
 zikir, faqr, sabr, zuhd, hubb, dan yang lain secara universal menggerakkan manusia agar hidupnya selaras dengan sunah Allah, yaitu ekosistem alam.

 

Kerangka Etis

Berpijak pada dua prinsip utama di atas, maka prinsip etis dalam pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan hidup haruslah mencerminkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, Pemanfaatan lingkungan hidup haruslah mempertimbangkan aspek “kemaslahatan”umat manusia. Dalam maqâshid al-syar’iyyah disebutkan bahwa ada lima hal yang harus dilindungi sebagai al-dlarûriyyat al-khams, yaitu menjaga agama (hifdz al-dîn), jiwa (hifdz al-nafs), anak keturunan (hifdz al-nasl), kekayaan atau properti (hifdz al-mâl), dan akal (hifdz al-‘aql). Oleh karena itu, pemanfaatan alam dan lingkungan hidup haruslah mempertimbangkan aspek perlindungan dan kemasalatan manusia.


Praktik-praktik pemanfaatan alam dan lingkungan hidup yang secara nyata mengancam keberlangsungan jiwa manusia, secara etis haruslah ditolak. Kaidah ushul fiqih telah memberikan kerangka konseptual:
 dar’ul mafâsid muqaddamun ‘ala al-jalb al-mashâlih. ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm menjelaskan pengertian mafsadat sebagai rasa sakit serta rasa sedih dan segala faktor penyebabnnya. Adapun mashlahat  adalah kelezatan (al-ladzat) dan kesenangan (al-afrah) dengan berbagai faktor penyebabnya.


Pengertian menjaga diri (hifdz al-nafs) bukan hanya diletakkan pada konteks masa kini, tetapi juga masa yang akan dijalani oleh generasi mendatang. Oleh karena itu, faktor
 mashlahat dan mafsadat tersebut haruslah mempertimbangkan nasib kehidupan generasi mendatang. Islam mempunyai prinsip melarang umat manusia meninggalkan generasi yang lemah (QS. Al-Nisa’ [4]: 9), akibat persoalan-persoalan yang mereka lakukan dalam berinteraksi sesama manusia dan dengan lingkungan serta alam semesta.


Kedua, pemanfaatan lingkungan hidup haruslah mempertimbangkan aspek menjaga dan merawat keberlangsungan serta kemaslahatan alam, tumbuhan, dan binatang. Konsep
 maqâshid al-syar’iyyah yang selama ini kita kenal memberi kesan bersifat sangat antroposentris. Di dalamnya, yang menjadi pusat pembicaraan adalah manusia. Alam semesta dan lingkungan hidup tampak diabaikan. Oleh karena itu, selain habl minallâh dan habl minan-nâs, diperlukan kesadaran habl minal ‘âlam wa al-bi’ah, yaitu memahami fungsi dan kondisi air, tanah, udara, hewan, dan tumbuh-tumbuhan serta kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan umat manusia. Terjadinya kerusakan alam dan kerakusan umat manusia salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kesadaran dan pemahaman yang baik tentang alam, tumbuhan, dan binatang serta fungsi-fungsinya.


Al-Qur’an telah memberikan inspirasi penting terkait dengan masalah ini. Misalnya, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana air merupakan sesuatu yang vital dalam kehidupan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa segala sesuatu yang hidup diciptakan dari air (QS. Al-Anbiya [21]: 30). Kehidupan dengan demikian sangat membutuhkan air (QS. Al-Hajj [22]: 5). Karena perannya yang penting tersebut, air tidak boleh dikuasai dan dimonopoli oleh kalangan tertentu, tetapi digunakan bersama-sama untuk kemaslahatan umat manusia. Nabi Saw telah mengingatkan kita, “Orang Islam berserikat dalam tiga hal: rumput, air, dan api.” Hadis ini mengisyaratkan bahwa air tidak boleh dikuasai oleh koorporasi kapital, tetapi haruslah dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.


Al-Qur’an juga mengajarkan prinsip menjaga dan merawat udara. Misalnya, Al-Qur’an mengaitkan iman dengan kebersihan, fungsi angin sebagai pendorong kapal (QS. Yunus [10]: 22) dan sebagai pendorong hujan (QS. Al-A’raf [7]: 57). Kita tahu sekarang ini udara begitu kotor dan lapisan ozon terkisis oleh polusi yang ditimbulkan dari limbah pabrik.


Alam dan tumbuhan sebenarnya mampu melayani kebutuhan umat manusia, tetapi ia tak mampu melayani semua hasrat dan kerasukannya. Islam mengajarkan hidup  kebersahajaan. Manusia sebenarnya tak perlu rakus dan menjadi konsumerisme dalam menjalani hidup. Dengan kesadaran ini, maka alam dan seluruh isinya selaiknya diposisikan sebagi subjek yang kedudukannya setara dengan kedudukan manusia, karena kerusakan alam pada akhirnya juga akan berakibat buruk bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.


Pemanfaatan sumberdaya alam yang mempertimbangkan aspek kemaslahan umat manusia haruslah didukung dengan kebijakan politik dan hukum oleh pemerintah. Tujuannya adalah menggerakkan kesadaran melalui prinsip perundang-undangan yang mengikat seluruh warga negara.


Kebijakan pemerintah haruslah berorientasi pada kemaslahatan umat dan kemaslahatan kehidupan alam dan lingkungan, bukan sekadar mengejar keuntungan kapital yang bersifat sesaat. Sungguh merusak alam jauh lebih mudah ketimbang merawat dan menjaganya.Pengertian
 mashlahah dalam kaidah  tasharruful imâm ala al-ra’iyah manûtun bil mashlahah, bukan hanya terkait dengan rakyat (ummah) tetapi juga lingkungan hidup (bi’ah).


Sudah saatnya pesantren dan kampus-kampus Islam memberikan rumusan etis dalam perspektif Islam kepada pemerintah terkait pemanfaatan lingkungan secara konseptual dan sistematis. Sudah saatnya dirumuskan teologi lingkungan, fiqih lingkungan, dan tafsir Al-Qur’an bidang alam dan lingkungan menjadi salah satu mata kuliah yang diajarkan di kampus. Pesantren dan kampus selaiknya mengambil peran dalam penyusunan konsep perundang-undangan dengan berbasis pada kaidah ushul fiqih untuk didesakkan kepada negara dalam rangka memberikan jaminan politik dan hukum bagi rakyat dalam pemanfaatan lingkungan hidup.



Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta


Terkait