Oleh Ahmad Suhendra
Era 1980-an perbukuan di Indonesia sangat “dibatasi”. Karena Orde Baru masih berkuasa. Reformasi menjadi titik awal menggeliatnya perbukuan di Indonesia. Tumbangnya Orde Baru menimbulkan beberapa kalangan haus dengan buku-buku kritis, seperti filsafat dan wacana kiri. Begitu juga dengan diskursus keislaman kritis yang ikut berkembang pesat. Akhirnya, sebelum tahun 2000-an banyak beredar buku-buku diskursus, yang melahirkan pemikiran-pemikiran segar bagi peta perpolitikan maupun wacana keagamaaan di Indonesia.
Namun, pasca tahun 2000-an geliat konsumsi buku-buku diskursus itu mengalami penurunan. Itu ditandai dengan adanya pergeseran perbukuan di Indonesia, dari buku-buku filsafat ke buku-buku populer, dan dari keislaman kritis ke buku-buku keislaman pragmatis. Sekarang orang cenderung malas membaca buku ‘serius’. Padahal itu yang dapat menggerakkan sebuah peradaban.
Yang juga perlu disayangkan, maraknya buku-buku non-diskursus itu dibarengi dengan semakin populernya buku-buku berbahasa marah. Buku marah dimaknai sebagai buku yang berpandangan sempit dan tidak mau menerima perbedaan. Sebab itu buku semacam ini suka menghujat, mengafirkan dan membid’ahkan golongan lain. Tipe buku yang penuh amarah ini memang bukan sesuatu yang baru.
Namun pada abad ke-21 ini, buku penuh amarah bukan saja sekadar bacaan, melainkan sudah menjadi sikap sebagian masyarakat yang suka marah: suka menyalahkan, suka mengafirkan. Di balik buku penuh amarah itu menyimpan banyak misteri, mulai dari politik, ekonomi dan budaya.
Buku Marah Hilangkan Keseimbangan
Masyarakat muslim perkotaan (urban) menjadi sasaran utama buku marah. Mereka paling rentan terkena pengaruh dibanding masyarakat muslim pedesaan. Karena muslim perkotaan memegang peranan penting, baik di sektor pemerintahan maupun perkantoran. Selain itu mereka juga heterogen, baik dari tingkat pemahaman keagamaan maupun tingkat pendidikan. Muslim kota disibukkan dengan segala aktivitas dan kerja. Sehingga mereka kering dengan urusan-urusan yang sifatnya spiritual. Maka mereka mencari semacam penawar yang sifatnya religius-spiritual dan mudah dipahami serta instant.
Kehadiran buku-buku marah dalam konteks Indonesia sesungguhnya membawa problem. Pertama, problem kebangsaan. Indonesia terlahir sebagai bangsa yang plural. Plural dari sisi budaya, bahasa maupun agama. Dalam konteks itu dibutuhkan sikap saling menerima, menghormati dan kerja sama. Kedua, problem dari sisi keberagamaan. Sudah berabad-abad muslim di Indonesia saling berinteraksi dalam bingkai pluralitas kebangsaan. Tatanan yang harmonis itu tentu akan rusak jika sesama muslim saling menghujat.
Buku-buku yang berbahasa marah, terutama yang mengidentifikasi diri dari ajaran agama (Islam), ketika lahir dengan penuh amarah, terbukti tak mampu membangun peradaban yang saling menghargai. Ini jelas tak sesuai dengan tradisi Nusantara yang ramah dan santun. Buku dengan bahasa marah justru melahirkan tradisi dan peradaban yang jauh terbelakang. Buku itu telah menghilangkan keseimbangan dalam membangun peradaban Indonesia.
Sebab itu buku-buku berbahasa marah itu harus dilawan dengan menerbitkan buku-buku keislaman yang ramah dan toleran. Buku-buku keislaman yang ramah dan toleran itu mesti menyasar muslim perkotaan. Buku-buku itupun harus dikemas dengan bahasa ringan sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat.
Pesantren dan Rumah Bahasa Nusantara
Tidak mudah untuk membendung peredaran buku-buku marah itu. Ini tantangan bagi para penerbit yang mengedepankan Islam yang toleran. Pesantren mempunyai andil besar dalam menjaga peredaran buku-buku toleran. Pesantren bisa menjadi kantong-kantong beredarnya buku-buku toleran. Proses transformasi keilmuan di pesantren mengkombinasikan budaya Arab dengan budaya lokal.
Untuk itu, perbukuan Indonesia masa depan harus kembali menata visinya yang jelas dan tegas. Bangsa ini harus kembali kepada “Visi Indonesia” yang sudah mempunyai “rumah” sendiri, yakni rumah bahasa yang khas Nusantara. Rumah bahasa yang khas Indonesia selalu emoh dengan bahasa yang marah, bahasa porno dan bahasa yang tidak mempunyai ikatan dengan jiwa Nusantara. Rumah bahasa yang khas Nusantara selalu mengedepankan kesantunan dan keramahan.
Rumah bahasa Indonesia pada dasarnya tidak mengenal buku-buku model tersebut. Sebab itu, buku-buku itu tidak akan mendapatkan tempat dalam rumah bahasa dan masyarakat di masa mendatang. Buku-buku amarah itu akan hilang dengan sendirinya. Dalam konteks ini, dunia perbukuan Indonesia harus menundukkan setiap hal-ihwal secara proporsional.
Hanya buku yang mempunyai ikatan batin dengan jiwa Indonesia yang bisa eksis dan terus langgeng. Buku yang suka marah, buku yang penuh porno, dan penuh tipu muslihat akhirnya secara teratur hilang dari peredaran. Dengan mendudukkan perbukuan Indonesia dalam konteks jiwa Nusantara ini, maka arah perbukuan bisa menjadi mercusuar peradaban dunia masa depan.
*) Penulis adalah Wartawan Majalah Bangkit dan NU Online