Ahmad Fahir*
Sarasehan bersama para pelaku media massa yang diinisiasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rabu dan Kamis (5-6/12/2007) lalu, patut mendapatkan apresiasi. Kegiatan bertajuk “Menakar Plus Minus Media Massa Indoesia,” yang dilangsungkan di Gedung PBNU, merupakan gagasan cerdas yang patut dicermati bersama.
Komentar yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh, bahwa inisiatif yang dilakukan PBNU merupakan ide cerdas dan strategis tidaklah berlebihan. Nuh menyadari betul betapa beratnya tugas yang diemban departemennya. Departemen yang dipimpinnya tengah menghadapi dilema besar. Di satu sisi, ekspektasi masyarakat agar Depkominfo mampu mengawasi regulasi media massa begitu tinggi. Namun pada saat bersamaan, Depkominfo tidak lagi memiliki kewenangan yang leluasa seperti halnya yang dilakukan oleh Departemen Penerangan.
Pascapembubaran Deppen oleh Presiden Abdurrahman Wahid tahun 1999, masyarakat dituntut lebih tanggap terhadap berbagai isu seputar media massa. Jika sebelumnya masyarakat selalu dibuat tergantung oleh pemerintah Orde Baru, sehingga tidak memiliki peran dalam mengontrol media, kini sepenuhnya peran tersebut sudah dimiliki.
Dilema yang tengah dihadapi Depkominfo merupakan pekerjaan rumah terberat yang harus diselesaikan masyarakat. Jika momentum yang positif ini tidak ditangkap dengan baik, dikuatirkan kran kebebasan pers yang telah dibuka oleh Presiden BJ. Habibie tahun 1998 hanya akan membawa bencana dan malapetaka bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Kebebasan pers perlu diawasi, agar jangan terjebak dalam kriminalisasi pers, pelanggaran etika profesi, menafikan nilai-nilai luhur agama, atau bahkan mengoyak bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diperjuangkan susah payah oleh para founding pathers dan pahlawan pejuang kemerdekaan.
Mengubah Tata Sosial
Dampak media massa sangat signifikan dalam mengubah tata sosial. Bukan hanya itu, media massa bahkan telah mampu menjadi pengendali kehidupan masyarakat. Sebagai khalayak sasaran, masyarakat umumnya sangat terdedah dengan berbagai ragam sajian opini, pemberitaan dan penayangan media.
Beberapa kajian sosial mengenai dampak media massa dalam sebuah masyarakat membuat persepsi baru bahwa media massa, masyarakat, budaya massa dan budaya tinggi secara simultan saling berhubungan satu sama lain. Corak hubungan faktor-faktor di atas bersifat interplay.
Perubahan sosial tersebut terjadi tentu saja dipengaruhi pula oleh perkembangan sosial baru dalam era modernisasi. Dalam proses ini ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati. Pertama, perkembangan media sampai pada satuan kecil masyarakat membuat kita harus membuat sikap baru dan lebih kompleks terhadap terminologi-terminologi sosial tradisional yang diyakini masyarakat. Kedua, perkembangan media massa baru seperti televisi mengubah persepsi sosial masyarakat karena pengaruhnya yang sedemikian dahsyat.
Ketiga, proses transisi sosial baru yang dialami oleh masyarakat menuntut kita untuk memperbaharui konsep sosial yang sudah ada. Keempat, segmentasi dan fragmentasi masyarakat harus dimaknai kembali dalam konteks bahwa masyarakat dilihat sebagai sebuah kerangka sosial yang lebih kompleks.
Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada.
Pakar komunikasi massa Harrold D. Laswell menyebut bahwa ada lima unsur utama komunikasi massa. Unsur-unsur tersebut yakni source (sumber), message (pesan), channel (media), receiver (khalayak) dan effect (dampak). Lima unsur ini disebut juga dengan teori S-M-C-R-E atau paradigma Laswell.
Teori S-M-C-R-E ala Laswell menunjukkan betapa besarnya pengaruh media massa bagi khalayak. Dengan efek yang ditimbulkan, media massa memiliki andil besar dalam membentuk karakter dan budaya masyarakat.
Peran Strategis Masyarakat
Sebetulnya ada lembaga-lembaga terkait yang secara tidak langsung berperan mengawasi regulasi media massa. Misalnya Komisi Penyiaran Indonsia (KPI) yang berfungsi mengawasi penyiaran atau lembaga ad hoc insan media seperti Dewan Pers, yang memiliki tanggungjawab sebagai penjaga moral dan etika wartawan dalam menjalankan tugas profesi.
Namun keberadaan lembaga-lembaga tersebut tetaplah tidak cukup. Pasalnya media massa sangat beragam. Paling tidak ada empat buah media yang paling mendapatkan minat tinggi, yakni surat kabar, radio, televisi dan internet. Selain itu populasinya juga sangat tinggi. Sehingga hal itu sangat menyulitkan berbagai lembga pengawasan yang ada untuk berperan optimal.
Dalam kondisi ketika ruang-ruang kebebasan pers dibuka seperti saat ini, sebetulnya hal itu sebagai peluang menguatnya masyarakat sipil (civil society). Masyarakat memiliki keleluasaan untuk secara langsung mengawasi regulasi media massa. Interaksi masyarakat sebagai khalayak (receiver) dengan media massa sebagai channel akan sangat menentukan perkembangan industri meda.
Posisi tawar masyarakat sebagai konsumen media sebetulnya sangat kuat. Saking kuatnya muncul anekdot, bahwa peran Deppen yang dahulu mengeluarkan izin SIUP atau membredel media, kini beralih ke masyarakat. Hanya formulasinya yang berbeda, yakni dengan cara memboikot atau tidak membeli produk media tertentu.
Meski demikian tetap saja masyarakat tampak seperti tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan media. Ini lantaran tidak adanya asosiasi yang secara khusus bertugas mewadahi dan memperjuangkan kepentingan konsumen media.
Harapan terakhir pengawasan media massa pun akhirnya digantungkan pada organisasi masyarakat (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Lembaga sosial keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang memiliki penganut dalam jumlah sangat besar dapat memainkan peran strategis.
Jika NU dan Muhammadiyah dapat bergerak bersama mengawasi media massa, dampaknya sangat efektif. Apalagi kedua ormas ini memiliki cita-cita luhur yang sama, yakni memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. NU bertekad besar mewujudkan civil society. Adapun Muhammadiyah bercita-cita melahirkan masyarakat utama.
Revitalisasi Fungsi Media
Ada banyak tafsir mengenai fungsi media massa. Dalam hal ini, para pakar komunikasi massa memiliki pandangan beragam. Laswell mengatakan media massa memiliki fungsi informasi, hiburan dan pendidikan.
Charles R. Wright memandang, media massa berfungsi dalam kegiatan penyelidikan (surveillance), kegiatan mengkorelasikan (correlation), yaitu menghubungkan satu kejadian dengan fakta yang lain dan menarik kesimpulan, kegiatan transmisi kultural, yaitu pengalihan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan kegiatan penghiburan (entertainment).
Sedangkan Melvin De Fleur melihat ada enam fungsi utama media massa. Pertama, fungsi informasi (surveillance functions). Kedua, fungsi agenda setting (set agendas). Ketiga, fungsi penghubung antar kelompok dalam masyarakat (connect). Keempat, fungsi pendidikan (educate). Kelima, fungsi mempengaruhi (persuade). Keenam, fungsi menghibur (entertaint).
Dalam bentuknya yang mulai modern, teori masyarakat masyarakat dan fungsi media massa dalam perspektif empirik-kritis, melihat secara optimis persepsi yang berkembang dalam masyarakat atas perkembangan media massa. Artinya, bahwa masyarakat ternyata juga mempunyai kemampuan untuk mengontrol media massa berikut dampak-dampaknya.
Media massa mempunyai peran yang sangat krusial dalam sosialiasi nilai dalam masyarakat. Oleh karena krusialnya fungsi inilah, media massa mempunyai tanggung jawab sosial yang besar. Tanggung jawab ini termasuk fungsi katalisator media massa dalam menjunjung tinggi etika dan norma yang berlaku dan diyakini kuat oleh masyarakat. Tanggungjawab sosial media massa perlu mendapatkan perhatian dari para pelaku bisnis dan praktisi media, bukan semata mengejar sisi ekonomi saja.
Sebuah adagium mengatakan “Mass media is tool of social engineering.” Dalam posisinya sebagai tool of social engineering, dampak pemberitaan media massa sangat besar bagi rekayasa dan perubahan sosial. Apapun yang diberitakan media massa secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi cara pandang, perilaku dan budaya khalayak.
Partisipasi masyarakat menjadi niscaya guna mengatasi berbagai dampak negatif yang dimunculkan media massa. Saatnya kita bersama mengawasi media massa. Kebebasan pers memberikan ruang terbuka bagi kita untuk berbicara bebas tanpa adanya rasa takut, termasuk dalam hal ini mengawasi dan mengontrol pemberitaan media massa agar tidak bertentangan dengan norma-norma sosial yang kita anut. (*)
*Jurnalis, Mahasiswa Program Magister Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB