Opini

Bencana dan Keberagamaan yang Minus

Rabu, 30 Januari 2019 | 13:00 WIB

Bencana dan Keberagamaan yang Minus

ilustrasi

Oleh: Nanang Qosim 

Pada musim hujan seperti sekarang, harapan kerap bercampur-baur dengan kecemasan. Betapa tidak, di satu sisi hujan adalah rahmat dari Allah Swt untuk semesta alam. Hingga lingkungan yang gersang dimakan musim kemarau kembali hidup dan menghijau di musim hujan.

Namun di sisi lain, ulah tangan manusia telah mengubah rahmat Allah seperti hujan menjadi bencana seperti banjir, naiknya air laut ke permukaan (abrasi), tanah longsor, dan yang lainnya. Tak mengherankan bila segala bencana di muka bumi (dalam perspektif teologis) disebut sebagai akibat perbuatan manusia (QS Ar-Rum: 41).

Ritual Sosial

Apakah umat beragama tidak mengetahui bahwa pelestarian lingkungan tidak terpisahkan dari nilai-nilai luhur yang dibawa agama? Apakah umat beragama tidak menyadari bahwa segala amal ibadah yang dilakukan (seperti shalat) menuntut yang bersangkutan melakukan segala kebaikan sekaligus menghindar dari keburukan (inna as-shalata tanha ‘anil fahsya`i wal mungkar, QS Al-‘Ankabut: 45)?

Secara pribadi, penulis cenderung menjawab pertanyaan di atas secara negatif. Dengan kata lain, umat beragama melakukan perbuatan haram seperti pengabaian lingkungan bukan karena mereka tidak tahu bahwa semua itu dikecam dan diharamkan. Namun demikian, mereka tetap melakukan segala keburukan (bersamaan dengan amal ibadah yang dilakukan) lantaran berkeyakinan bahwa antara kesalehan ibadah-ritual terpisah dengan kesalehan muamalah-sosial (seperti: menjaga kelestarian lingkungan dan menjauhi praktik korupsi).

Faktanya tak sedikit umat beragama justru mengabaikan pelestarian lingkungan. Bahkan, tak sedikit dari yang sudah terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi justru dikenal sebagai sosok yang taat beribadah dan mempunyai kelas sosial yang cukup tinggi. Meminjam istilah dalam bahasa Arab, dalam keyakinan mereka, ketaatan terhadap hal-hal yang bersifat ibadah-ritual fi wadin (berada di satu lembah). Sedangkan hal-hal terkait dengan kehidupan muamalah-sosial fi wadin ukhra (berada di lembah yang berbeda).

Inilah yang dalam kajian keagamaan dikenal dengan istilah 'keberagamaan yang minus' (at-tadayun al-manqush). Pola keberagamaan seperti ini cenderung hanya memerhatikan kewajiban yang bersifat ibadah-ritual. Sedangkan hal-hal yang bersifat muamalah-sosial acap diabaikan atau setidaknya dianggap sebagai kewajiban 'kelas nomor dua' yang tidak terkait dengan kewajiban 'kelas nomor satu', yaitu ibadah-ritual di semua jenisnya.

Persoalan Utama

Harus diakui, keberagamaan yang minus sebagaimana di atas sesungguhnya menjadi persoalan utama umat beragama secara umum pada era modern kini. Di satu sisi, mereka sangat taat dalam hal-hal yang bersifat ibadah-ritual. Tapi di sisi lain mereka kerap mengabaikan hal-hal yang bersifat muamalah-sosial. Tentu tidak ada yang salah pada ketaatan ibadah-ritual, mengingat semua itu sudah menjadi kewajiban dari Allah yang termaktub dalam kitab suci-Nya.

Namun demikian, hal tersebut tak boleh dijadikan sebagai pembenaran atas pengabaian hal-hal yang bersifat muamalah-sosial. Karena sebagaimana ibadah-ritual, hal-hal terkait muamalah-sosial juga diperintahkan oleh Allah dan termaktub dalam kitab suci-Nya.

Pemandangan umum yang kerap ditemukan di masjid atau mushalla bisa dijadikan salah satu contoh fenomena keberagamaan yang minus seperti di atas. Antara lain, tempat-tempat suci itu kerap menyajikan pemandangan yang kurang sehat secara sosial, seperti kebersihan yang kurang terjaga. Bahkan tak jarang seseorang kehilangan harta bendanya saat berada di tempat-tempat suci tersebut.

Perhatian terhadap lingkungan bisa dijadikan sebagai contoh lain dari fenomena keberagamaan yang minus sebagaimana di atas. Di mana lingkungan kerap diperlakukan secara kurang baik. Hingga pelbagai macam musibah pun datang secara silih berganti, mulai dari banjir, longsor dan seterusnya.

Islam sangat tegas menekankan tentang pentingnya kebersihan dan pelestarian lingkungan secara umum. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Demikian bunyi pendapat ulama (menurut sebagian adalah hadits) yang kerap terdapat di sekitar masjid atau mushala.

Hal yang kurang lebih sama juga terdapat dalam pelestarian lingkungan. Islam menjadikan pelestarian lingkungan sebagai salah satu tugas utama dalam mandat kekhalifahan yang diberikan Allah kepada manusia (QS Al Baqarah: 30). Bahkan ulama terkenal di Timur Tengah, Syeikh Yusuf Qardhawi, menjadikan pelestarian lingkungan sebagai salah satu tujuan syariat yang tak dapat diabaikan oleh umat Islam (Kairo, 2001).

Semua ini lebih dari cukup untuk memahami bahwa Islam tak pernah membedakan antara kewajiban ibadah-ritual dengan kewajiban-muamalah sosial. Ketika mewajibkan shalat lima waktu, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa shalat dapat mencegah seseorang dari pelbagai macam perbuatan buruk (sebagaimana di atas).

Di sini dapat ditegaskan, keberagamaan yang minus sesungguhnya masuk dalam kategori musibah di atas musibah. Mengingat keberagamaan tersebut telah mengabaikan sebagian dari ayat Al-Qur’an yang secara tegas mengajarkan pentingnya menunaikan kewajiban muamalah-sosial bersamaan dengan kewajiban ibadah-ritual.

Selama keberagamaan yang mendua sebagaimana di atas belum terselesaikan, maka selama itu pula fenomena keterbelahan antara kesalehan ibadah-ritual dan kesalehan muamalah-sosial akan senantiasa terjadi. Hingga pesan-pesan Al-Qur’an terkesan tumpul dalam memerangi pelbagai macam keburukan, termasuk keburukan dalam bentuk kejahatan terhadap lingkungan dan perbuatan korupsi.

Kisah Imam Al-Ghazali dalam pembukaan kitab Nashaihul Ibad (Nasihat untuk Manusia) yang diajarkan di sejumlah pesantren sejatinya menjadi inspirasi bagi semua pihak untuk menegakkan dua kewajiban ibadah-ritual dan muamalah-sosial. Dalam kitab tersebut disinyalir bahwa Imam Al Ghazali pernah bermimpi masuk surga.

Tapi bukan hanya karena segala karya dan ibadah-ritual yang telah dilakukan. Melainkan, karena saat sedang menulis kitab pada suatu malam, Imam Al-Ghazali bersikap welas asih terhadap seekor lalat yang meminum tintanya dengan sejenak berhenti menulis untuk memberi kesempatan kepada sang lalat memenuhi kebutuhannya. Karena malam itu Imam Al-Ghazali bersikap welas asih terhadap seekor lalat, maka Allah pun bersikap welas asih terhadap beliau dengan memasukkannya ke dalam surga.

Penulis adalah peneliti dan pengajar di Pesantren Darul Falah Besongo, Ngalian Semarang, Jawa Tengah.


Terkait