Sosiolog UGM Ungkap Inses dalam Keluarga adalah Kekerasan yang Disamarkan oleh Relasi Kuasa
Sabtu, 24 Mei 2025 | 18:00 WIB
Jakarta, NU Online
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Desintha Dwi Asriani menjelaskan bahwa fenomena inses atau hubungan seksual sedarah merupakan salah satu bentuk kekerasan yang terjadi di dalam keluarga. Ironisnya, pelaku kekerasan ini berasal dari orang-orang terdekat, bahkan yang seharusnya menjadi pelindung, seperti bapak atau kerabat laki-laki yang lebih tua.
"Inses ini sering terjadi di mana keluarga mengadopsi struktur keluarga patriarki yang cenderung pola sosial atau pola asuh yang seolah-olah segala sesuatu yang benar dibanding yang feminisme,” ujarnya saat dihubungi oleh NU Online pada Sabtu (24/5/2025).
Desintha mengungkapkan bahwa keluarga patriarki menempatkan laki-laki, terutama bapak atau kepala keluarga, pada posisi tertinggi dalam struktur kekuasaan rumah tangga. Hierarki ini menciptakan relasi kuasa yang timpang, dimana laki-laki memiliki kontrol lebih besar dibandingkan anggota keluarga lainnya, terutama anak perempuan. Dalam kondisi ini, kekuasaan tersebut sering kali disalahgunakan dan berujung pada kekerasan seksual, termasuk inses.
“Ketika terjadi kekerasan yang berpotensi memunculkan dominasi, maka hierarki itu memperkuat atau menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual yang termasuk inses didalamnya,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu.
Keluarga patriarki, menurut Desintha, bukan hanya menjadi tempat tumbuhnya relasi kuasa yang tidak sehat, tetapi juga menjadi ruang yang berpotensi munculnya kekerasan dalam keluarga, termasuk inses.
Ia menyampaikan bahwa dalam kasus inses, pelaku umumnya adalah laki-laki yang lebih tua atau orang tua itu sendiri, sedangkan korban cenderung adalah anak perempuan yang memiliki posisi lebih lemah dalam struktur keluarga.
Relasi kuasa ini, menurutnya diperparah oleh budaya yang menempatkan orang yang lebih tua sebagai sosok yang harus ditaati. Dalam budaya patriarki, ketaatan terhadap orang tua menjadi norma yang tidak bisa diganggu gugat. Akibatnya, ketika seorang bapak melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya, korban kerap tidak berani melawan atau melapor karena merasa tidak memiliki kekuatan.
Selain itu, Desintha menyoroti bahwa dalam beberapa kasus, faktor adat masih menganggap hubungan sedarah sebagai hal yang wajar. Padahal dari sisi medis, sosial, dan psikologis, inses memiliki dampak buruk yang sangat serius bagi korban.
“Kasus-kasus hubungan yang sedarah yang pernah dikaji, ada penelitian ilmiahnya bahwa inses itu merupakan isu yang harus dihindari,” ucapnya.
Ia menyampaikan bahwa dalam banyak kasus, pelaku merasa berhak melakukan kekerasan karena merasa memiliki kendala penuh atas anggota keluarganya.
“Pelaku yang lebih tua seolah-olah mempunyai power untuk mengkontrol mereka (anaknya) yang lemah, jadi ketika terjadi kekerasan atau pelecehan jadi seolah-olah bapaknya menekan bahwa anaknya harus patuh,” katanya.
Desintha menegaskan bahwa pentingnya membangun struktur keluarga yang egaliter dan kesadaran akan bahaya inses sebagai bentuk kekerasan seksual yang harus dihindari.