Nasional

Sertifikasi Dai Perlu Dilakukan dengan Adil, Transparan, dan Beradab

Selasa, 15 September 2020 | 02:00 WIB

Sertifikasi Dai Perlu Dilakukan dengan Adil, Transparan, dan Beradab

Dalam pelaksanaan sertifikasi, termasuk sertifikasi dai, harus dilakukan dengan pola-pola yang adil, transparan, dan beradab.

Jakarta, NU Online
Saat ini di masyarakat sedang hangat dibicarakan terkait program penceramah bersertifikat yang akan dilakukan oleh Kementerian Agama. Program yang sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa lembaga dan ormas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama melalui format masing-masing ini mendapat berbagai macam tanggapan.

 

Salah satu penceramah televisi nasional KH Muhammad Nur Hayid (Gus Hayid) mengatakan bahwa sertifikasi perlu dilakukan. Namun, dalam proses pelaksanaannya harus dilakukan dengan pola-pola yang adil, transparan, dan beradab.

 

Di zaman Rasulullah SAW sendiri sertifikasi seperti kepada seseorang yang memiliki kemampuan di bidang agama juga sudah ada atau dilakukan. Pola sertifikasi yang dilakukan tentu tidak seperti sekarang. Seseorang yang layak memberikan ceramah, dakwah, atau fatwa tentang agama langsung ditunjuk oleh Rasulullah.

 

Seperti dalam sebuah hadits, Rasulullah menyebut beberapa nama orang sahabat yang menunjukkan kapasitasnya dalam bidang ilmu tertentu. Rasulullah menyebut, jika ingin belajar tentang mawarits (ilmu waris atau faraidh) belajarlah pada Zain bin Tsabit. Jika ingin belajar bagaimana cara membaca ayat suci Al-Qur’an yang baik, maka belajarlah pada Ubay bin Ka’ab. Jika ingin belajar tentang mana yang halal dan mana yang haram tanyalah pada Muad ibnu Jabal.

 

"Rasulullah menyebut nama ini adalah bukti bahwa ada proses sertifikasi yang dilakukan oleh Rasulullah," ungkap Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU ini saat diskusi virtual yang disiarkan langsung oleh 164 Channel, Senin (14/9).

 

Pengasuh Pesantren Skill Jakarta ini menambahkan bahwa sertifikasi bukan hanya terjadi pada zaman Rasulullah. Proses sertifikasi juga terjadi pada zaman tabiin seperti ketika Imam Syafii yang disertifikasi langsung oleh Imam Malik yang merupakan gurunya sendiri.

 

Sertifikasi profesi adalah kelaziman

Sementara Wakil Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi Miftakul Aziz mengatakan bahwa proses sertifikasi sebuah profesi tertentu sudah menjadi kelaziman. Termasuk sertifikasi penceramah juga menjadi sebuah kewajaran karena beberapa negara pun sudah memberlakukan sertifikasi kepada siapa yang berhak dan memiliki kompetensi dalam menyampaikan ceramah.

 

Namun, sertifikasi di sini bukan hanya sebagai sebuah kertas resmi yang dikeluarkan untuk menandai seseorang telah mengikuti proses yang ditentukan. Sertifikasi di sini dititik beratkan pada apakah kemudian yang bersangkutan benar-benar mampu melakukan profesinya dan dapat memberi kemaslahatan pada umat.

 

"Sertifikasi ini bukan soal stempel, tetapi soal apakah nanti ketika diberlakukan mampu dapat diterima oleh masyarakat kita," katanya.

 

Sehingga menurutnya, dalam proses sertifikasi penceramah ini, juga harus melihat rekam jejak dan portofolio yang bersangkutan. Sertifikasi ini bisa diperuntukkan bagi mereka yang 'dipertanyakan' kemampuan dan pemahamannya seperti dari sisi nasionalisme dan kompetensi keilmuannya.

 

Bagi sosok-sosok penceramah yang memang di tengah-tengah masyarakat sudah sangat kredibel dan jelas kemampuannya tentu tidak perlu lagi disertifikasi. Ia menyebut seperti Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj dan Gus Muwafik misalnya merupakan sosok yang tidak diragukan lagi kemampuannya sehingga dari portofolionya saja sudah bisa dilihat kelayakannya.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan