Jakarta, NU Online
Jika kita menulis kata “syi’ir” di Google, maka akan turut di belakangnya kata “Tanpo Waton” atau “Gus Dur”. Kemudian jika mulai mengaksesnya, kita akan diajak melancong ke berbagai situs. Mesin pencarian akan mengarahkan kita ke syi’ir yang populer di masyarakat, yaitu “Syi’ir Tanpo Waton” atau “Shalawat Gus Dur”. Ini sekedar menggambarkan popularitas “Syi’ir tanpo Waton di dunia maya.
Syi’ir tersebut mulai populer beberapa bulan setelah Gus Dur wafat 31 Desember 2009. Pada akhir tahun 2010, NU Online sudah menjumpai shalawat tersebut dipasarkan para penjual kaset di salah satu pasar tradisional di Kediri, Jawa Timur. Kini hampir di berbagai tempat, khususnya di Jawa, orang mengenalnya.
Syi’ir tersebut lumrah dilantunkan dalam acara-acara kegamaan seperti tahlilan, tasyakuran, lailatul ijtima’, bahkan dalam rapat-rapat organisasi dan pertemuan ibu-ibu arisan. Banyak warga yang hapal di luar kepala, meski syair ini agak panjang.
Menurut budayawan Agus Sunyoto, ada beberapa faktor kepopuleran syi’ir tersebut. “Pertama adalah Gus Dur sendiri. Gus Dur menjadi daya tarik dari segi apa pun. Dari tindakannya, pernyataannya, homornya. Dari segi apa pun. Orang sudah paham,” ujarnya di ruang redaksi NU Online, Jakarta, Rabu (15/2).
Faktor kedua, menurut Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi-NU) ini, adalah faktor primordial masyarakat Nusantara. “Yang kedua adalah faktor primordial masyarakat Nusantara yang akrab dengan syi’ir-syi’ir. Dulu, ajaran-ajaran disampaikan melalui tembang. Dan sangat luar biasa pengaruhnya,” tambahnya.
Jadi meskipun belakangan banyak orang yang tahu kalau syi’ir ini ternyata tidak diciptakan atau dilantunkan Gus Dur, masyarakat tak peduli. Mereka dari awal sudah sangat akrab dan terlanjur gandrung denang dengan syi’ir.
“Misalnya, ketika kecil, saya pernah dijarkan sifat dua puluh. Wujud qidam baqa, mukhalafatul lil-hawadisi qiyamuhu binafsihi wahdinayat qudrat irodat. Saya sama sekali tidak paham sifat dua puluh itu, untuk apa fungsinya, tapi saya hapalkan. Dan luar biasanya, syi’ir tersebut ingat sampai sekarang. Melekat,” kata Agus Sunyoto yang menulis buku “Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”.
Menurut Agus, syi’ir merupakan strategi kebudayaan ulama-ulama kita pada zaman dahulu untuk menyampaikan ajaran, sejarah, dan moral. Kemudian dilantunkan di masjid-masjid.
“Kebiasaan bersyi’ir ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masjid-masjid tradisional di kampung. Isinya anjuran untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah, hidup di dunia ini tidak lama,” tambahnya.
Faktor ketiga adalah teks dalam syi’ir itu sendiri. Liriknya begitu pas dengan kondisi masyarakat sekarang ini. “Isinya adalah kritik untuk masyarakat yang materialistis ini. Coba perhatikan liriknya!” Agus kemudian menembangkan syi’ir tersebut.
“Duh bolo konco priyo wanito/Ojo mung ngaji syareat bloko/ Gur pinter dongeng nulis lan moco/Tembe mburine bakal sengsor, Akeh kang apal Qur’an Haditse/Seneng ngafirke marang liyane/Kafire dewe dak digatekke/Yen isih kotor ati akale.”
“Nah, isi sy’ir ini kan kritik keadaan manusia sekarang, orang belajar syariat tapi hanya pandai menulis dan membaca. Yang lebih parah, banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya. Tapi senang mengafirkan orang lain. Sementara kafirnya sendiri tak dihiraukan. Ini pas respon kepada prilaku orang-orang sekarang,” pungkasnya
Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis : Abdullah Alawi