Nasional

Pemerintah Harus Evaluasi UU PDP agar Tak Batasi Kerja Pers, Tiru Filipina dan Singapura

Kamis, 26 Juni 2025 | 21:30 WIB

Pemerintah Harus Evaluasi UU PDP agar Tak Batasi Kerja Pers, Tiru Filipina dan Singapura

Gambar hanya sebagai ilustrasi kebebasan pers. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Peneliti eLSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) Parasurama Pamungkas meminta pemerintah Indonesia harus mengevaluasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar tidak membatasi kerja-kerja jurnalistik atau pers yang sah dan berdampak bagi kepentingan publik.


Parasurama menyarankan pemerintah Indonesia mengadopsi model pengecualian jurnalistik yang sudah diterapkan di negara-negara demokratis, antara lain Filipina dan Singapura.


“Filipina secara eksplisit memberikan pengecualian terhadap kewajiban pengendali data bagi jurnalis dan medianya. Hal ini memberikan ruang aman agar kerja jurnalistik tetap bisa berjalan tanpa terjerat pidana data pribadi,” ujar Parasurama dalam diskusi publik bertajuk Pentingnya Pengecualian Jurnalistik dalam UU PDP yang diselenggarakan AJI Indonesia secara daring, pada Kamis (26/6/2025).


Ia menjelaskan, pemerintah Filipina mengatur bahwa data pribadi yang diproses untuk tujuan jurnalistik dibebaskan dari sejumlah kewajiban administratif dan pidana, selama masih dalam koridor kepentingan publik. Sementara Singapura melalui Personal Data Protection Act (PDPA) juga memberi pengecualian pada media untuk memproses informasi pribadi sepanjang memenuhi syarat prinsip kehati-hatian dan proporsionalitas.


Parasurama menambahkan bahwa pengecualian ini sangat penting mengingat banyaknya potensi bertabrakan antara pasal-pasal UU PDP dengan prinsip-prinsip kerja jurnalistik.


"Sejak dulu, jurnalisme memicu diskursus soal privasi. Tapi kita perlu menyadari bahwa tanpa kebebasan pers, transparansi publik terancam. UU PDP seharusnya menjadi penyeimbang, bukan penghalang kerja media," tegasnya.


Menurut data eLSAM, setidaknya 8 dari 10 berita investigatif memuat unsur data pribadi seperti nama, alamat, status kesehatan, atau catatan kejahatan. Dalam Pemilu 2024, lebih dari 60 media nasional menulis profil calon pejabat publik yang mencantumkan informasi pribadi untuk keperluan verifikasi dan akuntabilitas.


"Jangan sampai hukum yang ditujukan untuk melindungi hak, justru menjadi alat pembungkam kebebasan yang juga hak," terang Parasurama.


Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Abdul Manan juga menyuarakan kekhawatiran serupa.


Ia menilai UU PDP berpotensi digunakan sebagai alat pembungkaman baru oleh narasumber publik untuk menolak memberikan informasi. Bahkan, UU PDP ini jadi alat untuk melaporkan wartawan ke polisi hanya karena memuat data personal yang sebetulnya relevan.


"Kalau tidak ada klausul pengecualian, maka pasal-pasal dalam UU PDP ini bisa menjadi pintu masuk bagi upaya pembungkaman. Wartawan akan dibayang-bayangi risiko pidana hanya karena menyebut alamat atau riwayat kasus seseorang yang notabene adalah pejabat publik," ujarnya.


Ia menyarankan beberapa saran dalam perkara ini. Pertama, pengecualian eksplisit dalam UU PDP terhadap aktivitas jurnalistik, terutama untuk informasi yang menyangkut kepentingan publik dan dilakukan sesuai kode etik.


Kedua, mekanisme klarifikasi berbasis Dewan Pers agar pelaporan sengketa data pribadi oleh media tidak langsung masuk proses pidana, tapi diselesaikan lewat jalur etik terlebih dahulu.


Ketiga, pendidikan bagi aparat penegak hukum agar memahami perbedaan antara pelanggaran privasi oleh media dengan kerja-kerja jurnalistik yang sah.


Dewan Pers menyatakan akan segera menyusun naskah akademik dan rekomendasi resmi kepada pemerintah dan DPR RI untuk merevisi UU PDP. Fokusnya adalah penambahan pasal-pasal yang menjamin perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik, tanpa mengurangi esensi perlindungan data warga negara.


Sebagai informasi, dalam Pasal 15 UU PDP, pemerintah memang membuka ruang pengecualian untuk kepentingan umum, tapi tak menyebut secara spesifik pengecualian untuk pers atau jurnalistik. Hal ini dinilai berbahaya, karena membuka tafsir hukum yang berpotensi menyasar media dan jurnalis.


Mengacu pada model Uni Eropa (GDPR), pengecualian jurnalistik termasuk dalam klaster freedom of expression and information, yang justru diperkuat melalui pasal khusus agar tidak berbenturan dengan kebebasan pers.