“Kami di Bali telah mengirimkan bantuan ke (korban bencana) Lombok dan Palu 1,4 miliar,” ujar seorang utusan dalam Sidang Komisi Program yang mewakili PWNU Bali di Konbes dan Munas Alim Ulama NU, Banjar 2019.
“Wow,” ujar penulis dalam hati. Mengapa? Di Bali, warga NU merupakan minoritas, tapi punya kemampuan menggalang bantuan atas nama NU.
Didorong oleh rasa penasaran, saya hampiri untuk mengatur jadwal ngopi bareng. Audiens tadi bernama Ekky Rezal, sosok kakek yang sangat friendly dan bermental anak muda. Memiliki bisnis event organizer, punya pengalaman dalam pelatihan penanganan bencana dan survival di masa kuliah. Kini didapuk sebagai Koordinator NU-Peduli Bali dengan julukan “Si Jenderal Koin”.
Ia bercerita pengumpulan dana yang dilakukannya melibatkan anak-anak muda dengan cara-cara kreatif, termasuk mempopulerkan hastag NU for Bali di semua kegiatan. Jika di banyak daerah menggunakan istilah kaleng koin maka di bali disebut sebagai boks koin. Boks koin ini diputar dengan dua metode: diletakkan di berbagai event dan dibawa door to door.
Dari pola ini, dalam situasi normal, dana yang terkumpul tiap bulan mencapai 25-35 juta per bulan. Adapun dalam situasi setelah terjadinya bencana, dalam kasus bencana gempa Lombok, dalam dua hari ia sanggup mengumpulkan dana hingga 600 juta.
Apa yang dimaksud dengan pola door to door? Pola ini membawa boks koin keliling rumah warga Nahdliyin. Jika yang bersangkutan berkenan menyumbang rutin, maka tiap 2 minggu sekali relawan akan mendatangi rumahnya. Daftar penyumbang terregistrasi. Apa yang paling menarik? Boks koin NU Peduli ini bukan hanya diisi oleh nahdliyin, tetapi mereka yang non-nahdliyin atau bahkan umat agama lain, misalnya umat Hindu.
Mengapa yang non-Nahdliyin atau non-muslim mau ikut berkontribusi? Para relawan punya kompetensi menjelaskan visi, misi, dan program kerja yang akan dan telah dilakukan sehingga orang lain mempunyai rasa ketertarikan. Laporan pengumpulan dan penggunaan dana diberikan ke warga tiap bulan.
Ada juga kisah ketika orang non-muslim yang bertanya karena tidak mengenal apa itu NU Peduli. Secara sabar, diberi contoh melalui penyebutan nama figur, yakni Gus Dur. Secara spontan ia menyahut, “Tahu, itu Tuhan kedua kami.” Ia pun menjadi penderma. Soal ungkapan yang cenderung hiperbolis lain soal, tapi barokah Gus Dur yang semasa hidupnya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan berbuah semangat kerjasama di daerah di mana jama’ah NU menjadi minoritas.
Dalam kasus gempa Lombok, tim NU Peduli-Bali mengirim 17 relawan yang fokus operasinya di Desa Madayin, Medas, Lombok Timur. Membantu dalam pendistribusian logistik, pendirian tenda-tenda darurat, membuat tendon air, penanganan psiko-sosial anak-anak, hingga pembangunan masjid.
Selain soal penggalangan dana untuk daerah terdampak bencana, saat ini terdapat tiga program unggulan NU Peduli-Bali, yakni beasiswa pendidikan, kesehatan, dan renovasi rumah warga. Ketiganya terus berjalan. (Dwi Winarno/Abdullah Alawi)