Jakarta, NU Online
Pelayanan NU Peduli bagi warga terdampak bencana di Sulawesi Tengah, tak lepas dari keterlibatan para relawan. Sejak sesi asesmen di hari-hari awal masa tanggap darurat, para relawan bahu membahu memberikan kinerja terbaik mereka demi menolong warga terdampak.
Menjadi relawan di daerah bencana bukan hal mudah, apalagi mereka yang datang jauh dari luar Pulau Sulawesi. Namun semua ketidakmudahan itu teratasi karena mereka berangkat dengan semangat keihklasan dan pengabdian.
Ujang Yufrianto, relawan asal Kendal Jawa Tengah, misalnya. Sejak mendengar peristiwa bencana di Sulawesi Tengah, ia segera terpanggil untuk berangkat ke Sulteng.
Ia menyadari risiko dan tantangan di daerah bencana yang tinggi. Namun semua itu dihadapi dengan tekad yang kuat, hingga ia bersama sepuluh orang relawan Kendal datang juga ke Sulawesi Tengah, bergabung bersama NU Peduli.
"Capek pasti ada. Tapi pasti juga ada sesuatu yang membikin nyaman menjadi relawan," kata dia.
Sesuatu itu apa? Menurut Ketua LAZISNU Kecamatan Boja Kendal ini adalah kepuasan memberikan yang terbaik bagi warga terdampak bencana. "Menurut saya puncak ilmu pengetahuan adalah peduli, puncak ngaji adalah peduli. Peduli diwujudkan dengan adanya tindakan nyata, bukan hanya ikut merasa ikut berduka saja," paparnya.
Mewujudkan kepedulian dengan tindakan nyata, kata Ujang, bukanlah perkara mudah. "Namanya perjuangan itu ada yang dikorbankan. Waktu, materi, tenaga. Ketiganya itu harus dikalahkan, itulah berjuang," lanjut dia.
Kalau hanya punya waktu senggang lalu datang ke daerah bencana, tanpa memberikan tenaga ataupun bantuan materi, menurutnya bukan perjuangan. "Mungkin berjuang, tapi itu kurang," kata Ujang.
Mengutip ajaran ulama, Ujang mengatakan bersedekahlah pada saat lebih ataupun kurang. Masuk ke dunia relawan juga harus memperjuangkan waktu, harus termanajemen dengan baik.
"Lebih dari itu relawan juga harus bersinergi dengan organisasi induknya (NU)," ia kembali menegaskan.
Semangat serta pemahaman hingga menjadi aksi nyata, bagi Ujang bukanlah hal yang sekonyong-konyong datang dalam pemikirannya. "Saya meyakini, ajaran dari berbagai macam majelis taklim puncaknya ilmu adalah peduli. Ajaran tarekat pun puncaknya ya peduli," ujarnya.
Bersama timnya, Ujang selain menyalurkan bantuan logistik, juga membuat hunian sementara (Huntara) bagi warga Sulteng, dan mendirikan mushala darurat
Selain Ujang, ada pula Siti Nurana. Datang dari Makasar Sulawesi Selatan, perempuan yang berprofesi sebagai bidan ini selama menjadi relawan di Sulteng mengikuti tim medis mendatangi para pengungsi di titik-titik pengungsian di Kabupaten Donggala, Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
"Sebenarnya berat meninggalkan keluarga, anak dan suami. Alhamdulillah suami saya mengizinkan," cerita Bidan Ana.
Hingga saat ini NU Peduli terus memberikan layanan bagi warga terdampak di Sulawesi Tengah. Tak kurang dari 500 relawan terlibat dalam aksi ini. Mereka berasal dari berbagai Banom dan lembaga NU dari seluruh wilayah Indonesia.
Para relawan yang tidak berangkat ke Palu pun, di daerah masing-masing mengorganisir penyaluran bantuan. Semuanya bekerja berlandaskan rasa peduli atas bencana yang terjadi, dan dengan harapan warga Sulteng dapat bangkit kembali. (Kendi Setiawan)