Nasional

Hari Buruh 2025, Ini Sembilan Tuntutan DPP K-Sarbumusi

Kamis, 1 Mei 2025 | 07:00 WIB

Hari Buruh 2025, Ini Sembilan Tuntutan DPP K-Sarbumusi

Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu (30/4/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

 

Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin mengungkapkan bahwa Hari Buruh 2025 dihiasi dengan situasi keprihatinan, bahkan semenjak lima tahun terkahir, 1 Mei 2025 terbilang paling buruk.

 

Irham mengungkapkan, perubahan komposisi dan struktur pekerjaan di berbagai sektor industri atau bidang pekerjaan menjadi salah satu faktor. Bahkan, sektor-sektor yang sudah berdiri selama puluhan tahun tapi karena pengaruh datangnya digitalisasi, otomasi, robotisasi, dan kecerdasan buatan (AI) itu menjadi hilang.

 

"Contoh yang terdekat karena yang mewawancarai kawan-kawan media. Kita sudah melihat selama dua tahin terakhir, media cetak nasional yang gulung tikar, misalnya," katanya saat ditemui NU Online di Pojok Gus Dur Lantai 1 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (31/4/2025).

 

May Day tahun 2025, menurut Irham, cukup berat hantamannya bagi kelas pekerja, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Pasalnya, situasi geopolitik global yang sedang memanas, seperti yang terjadi di Ukraina dan Rusia yang sebenarnya penyuplai sumber energi yang cukup besar di dunia. Kemudian ketegangan juga terjadi di Timur Tengah dan juga di beberapa negara lain di Afrika.

 

"Tetapi situasi geopolitik yang cenderung berpotensi untuk memberikan ancaman ke dalam ketenagakerjaan global itu saja tidak cukup ternyata," ujarnya.

 

Menyikapi situasi tersebut di atas, kata Irham, DPP K-Sarbumusi mengeluarkan sembilan tuntutan kepada pemerintah Prabowo-Gibran antara lain sebagai berikut.

 

Pertama, pemerintah harus memperkuat diplomasi ekonomi dan melakukan negosiasi ulang dengan negara mitra dagang, termasuk Amerika Serikat, untuk menurunkan atau menghapus tarif yang merugikan industri padat karya di Indonesia;

 

Kedua, pemerintah perlu memberikan subsidi sementara, keringanan pajak, atau stimulus bagi industri yang terdampak tarif ekspor agar dapat mempertahankan tenaga kerja dan mencegah gelombang PHK;

 

Ketiga, pemerintah dan sektor swasta harus menyediakan pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja yang terkena PHK agar mereka dapat beradaptasi dengan sektor baru seperti ekonomi digital dan energi hijau;

 

Keempat, diperlukan program jaminan sosial dan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk pekerja informal dan outsourcing yang sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Selanjutnya K-Sarbumusi merekomendasikan pemerintah untuk menanggung jaminan sosial 20% pekerja yang dihitung dari pekerja pendapatan terendah dan rentan sehingga bisa memitigasi risiko jebakan kemiskinan berikutnya;

 

Kelima, pemerintah harus mempermudah perizinan dan memberikan kepastian hukum untuk mendorong investasi domestik yang bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal;

 

Keenam, deregulasi yang dijanjikan oleh Presiden Prabowo fokus pada daya tarik investasi dan bisnis berkelanjutan, juga berorientasi pada kesejahteraan buruh. Deregulasi harus dipastikan steril dari penumpang gelap kebijakan sebagaimana proses dibuatnya Omnibus Cipta Kerja di masa lalu;

 

Ketujuh, pemerintah harus fokus pada pengembangan keterampilan kerja dan vokasi untuk memfasilitasi kompetensi pekerja agar berdaya saing dan menjadi daya tarik investasi;

 

Kedelapan, Konfederasi Sarbumusi memandang Satgas PHK bukan merupakan solusi utama. Pemerintah harus lebih fokus pada akar permasalahan terjadinya PHK termasuk lesunya ekonomi, fenomena deindustrialisasi sektor padat karya, dan sepinya investasi bahkan setelah diundangkannya UU Cipta Kerja. Pemerintah harus memperkuat instrumen perlindungan hukum bagi buruh rentan, termasuk melakukan ratifikasi Konvensi ILO No. 188, 189, dan 190 serta instrumen hukum nasional seperti UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT);

 

Kesembilan, terkait dengan relasi mitra dalam industri ride hailing, pemerintah dan aplikator harus bijak dalam penentuan kebijakan, agar adil bagi semua pihak, baik bagi mitra, UMKM, pekerja, maupun aplikator. Terdapat lebih dari 4 juta pengemudi daring yang terlibat, jutaan orang yang bekerja dalam UMKM makanan dan minuman. Kebijakan yang tepat akan menjamin kelangsungan bisnis dan ekonomi bersama.