Nasional

Aktifis Nilai Ahlul Halli Jadikan NU Eksklusif dan Tertutup

Sabtu, 18 Oktober 2014 | 00:05 WIB

Jakarta, NU Online
Aktifis senior NU Amsar Dulmanan mempertanyakan wacana peninjauan ulang sistem pemilihan langsung yang selama ini sudah berjalan karena hal ini akan membuat NU menjadi eksklusif dan tertutup. Ia lebih setuju sistem pemilihan langsung yang selama ini berjalan dengan sejumlah perbaikan.
<>
“Pendidikan warga NU justru dalam proses demokratisasi ini,” kata kandidat doktor di Universitas Indonesia ini.

Ia menegaskan, NU harus menciptakan tradisi peubah pada watak demokratisasi langsung, tapi tentunya dengan prinsip ala NU.

“NU sudah membangun perspektif terbuka. NU mewariskan satu nilai, satu prinsip kepemimpinan yang dari NU dibawa menjadi kepemimpinan nasional. Jangan balik ke tradisi yang hanya menciptakan karakteristik yang menguntungkan para elit,” tegas Amsar yang juga Mabinas PB PMII ini.

Yang harus diperbaiki dari yang sudah berjalan selama ini adalah bagaimana sistem dan mekanisme ini berbasis pada transparansi dan kejujuran, seperti SK cabang yang masih bermasalah atau kriteria kepemimpinan NU yang sekarang semakin longgar.

“Pemimpin harus benar-benar kader NU, bisa ngaji dan punya pesantren. Dulu orang seperti Kiai Ali Yafi’e saja susah karena tidak punya pesantren,” paparnya.

Ia mengusulkan, sebelum dipilih di tingkat nasional, para calon pemimpin NU dipilih di tingkat regional sebagaimana konvensi dalam penjaringan calon presiden Amerika Serikat. Disini, para kiai sepuh bisa mengajukan beberapa nama calon yang dianggap layak, lalu setelah itu, mereka berkompetisi di tingkat nasional. Memang akan membutuhkan biaya besar, tetapi ini konsekuensi dari pendidikan politik dan upaya memperoleh calon pemimpin terbaik. 

“NU tidak boleh tertarik dengan perubahan yang sekuler dan pragmatis, tetap konsistensi dengan rekrutmen yang cukup ketat bahwa kader NU di situ minimal orang yang sudah berjibaku, paham kultur dan tradisi. Ini banyak di daerah,” tegasnya.

Ia mengingatkan, jika NU menggunakan sistem pemilihan tertutup, harus menerima konsekuensi bahwa hal tersebut tidak akan menjadi pola kepemimpinan di tingkat nasional.

“Jangan bermimpi ini akan menjadi mainstream pola regulasi pemimpin di tingkat nasional. Tapi kalau NU ingin menjadi mainstream, ya harus matching pada upaya rasionalitas konformistik dalam upaya perubahan,” tandasnya. (mukafi niam)


Terkait