Nasional

Ajukan Banding, Pengamat: Bukti HTI Tidak Konsisten

Senin, 7 Mei 2018 | 10:30 WIB

Ajukan Banding, Pengamat: Bukti HTI Tidak Konsisten

Muhammad Sofi Mubarok. (Istimewa)

Jakarta, NU Online
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak seluruh gugatan pihak pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap Kementerian Hukum dan HAM. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Tri Cahya Indra Permana di PTUN Jakarta, Senin (7/5).

Juru Bicara HTI Ismail Yusanto sebagai penggugat pun menolak putusan tersebut. Ia bakal mengajukan banding. "Karena itu, kita bakal lakukan upaya banding," ujarnya saat memberikan sambutan penutup di hadapan massa yang menutup jalan usai sidang ditutup.

Menanggapi hal tersebut, penulis buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah Muhammad Sofi Mubarok menyatakan bahwa HTI harus tunduk kepada landasan ideologi dan konstitusi yang sudah disepakati pendiri bangsa.

"HTI memang mestinya mengikuti dan tunduk kepada landasan ideologi dan konstitusi yg sudah disepakati para founding fathers," ujarnya saat dihubungi NU Online, Senin (7/5).

Kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga menyatakan bahwa bentuk dan ideologi NKRI itu sudah sesuai dengan syariat Islam. "Sudah sesuai dengan citarasa syariat Islam yang shâlihun likulli zaman wa makân," tegasnya.

Sofi menyatakan bahwa setidaknya, pembubaran HTI secara resmi memutus satu dari sekian mata rantai gerakan-gerakan yang berpotensi memecah belah bangsa. Ia memberi contoh di beberapa negara, HTI 100 persen terbukti sudah didesain sedemikian rupa guna memakzulkan pemerintahan yang sah.

"Baik secara politis maupun sosiologis selalu melakukan gerakan memakzulkan atas pemerintahan yang sah," ujarnya.

Perihal pengajuan banding, Sofi mempersilakan. "Ya, saya kira silakan saja HTI mengajukan banding. Tetapi jika hal itu dilakukan, HTI secara tidak langsung menikmati eksistensinya di negara demokrasi. Sistem yang selama ini mereka haramkan sebagai sistem thogut.

"Jelas HTI tidak konsisten dengan jalan pikirannya sendiri," katanya.

Ketidakkonsistenan itu terlihat dari lakunya yang berlindung di bawah sistem demokrasi yang selama ini mereka caci. Lebih lanjut, alumnus Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Situbondo ini menjelaskan bahwa pengajuan banding itu baru ada dalam sistem ketatanegaraan modern, tidak ada dalam fiqih klasik.

“Artinya rela dengan produk dan sistem demokrasi, sesuatu yang justru dicela dalam jalan pikiran HTI,” jelasnya.

Oleh karenanya, menurut Sofi, hal itu mengindikasikan HTI berambisi terhadap kekuasaan sebagai tujuan finalnya, bukan mengakomodir kepentingan agama dan kemanusiaan. (Syakir NF/Fathoni)


Terkait