ABRI Masuk Desa Era Orba Jadi Inspirasi Program Pangan TNI? Ini Kata Pengamat
Jumat, 18 Juli 2025 | 15:00 WIB

Gambar sebagai ilustrasi. Personel Lanud RSA Natuna merawat RSA Farm sebagai dukungan terhadap ketahanan pangan. Kegiatan ini dilaksanakan di lingkungan Lanud RSA, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Senin (7/7/2025). (Foto: web resmi TNI AU)
Jakarta, NU Online
Pengamat dan sejarawan militer Aris Santoso menilai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam program ketahanan pangan saat ini memiliki kemiripan dengan program ABRI Masuk Desa (AMD) pada masa Orde Baru. Ia menyebutkan bahwa pola-pola yang dulu pernah terjadi kini tampak mulai direproduksi.
"Ya mungkin saja program AMD menjadi inspirasi bagi program keterlibatan TNI dalam ketahanan pangan," kata Aris saat diwawancarai NU Online, Jumat (18/7/2025).
Meski demikian, Aris menggarisbawahi bahwa program AMD pada dasarnya bersifat insidental dan hanya berlangsung dalam siklus tertentu. Sedangkan bentuk keterlibatan TNI saat ini cenderung sistematis dan permanen.
"Sekarang ada satuan dan batalion pendukung jadi reguler dan berkelanjutan. Kalau AMD insidental," ujarnya.
Menurut Aris, AMD dahulu tidak hanya dijalankan atas nama pembangunan, melainkan juga sebagai sarana kamuflase militer untuk memperkuat pengaruh politik Orde Baru, khususnya menjelang pemilu.
“Salah satunya dan yang paling penting mencoblos Golkar saat pemilu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Aris menyatakan bahwa masyarakat pada masa itu sejatinya memahami arah politik dari AMD. Namun, tekanan dari rezim membuat masyarakat tak berani bersuara.
"Orang sebenarnya paham tujuan AMD untuk kelanjutan kekuasaan Soeharto. Tapi publik diam saja, nggak berani bersuara,” tuturnya.
Dalam pandangannya, keterlibatan TNI dalam sektor pangan hari ini bukanlah sekadar kegiatan bakti sosial, melainkan bagian dari agenda untuk menjaga keberadaan TNI dalam arena politik nasional. "TNI sedang mencari jalan agar posisinya selalu aktual di panggung politik," tegas Aris.
Ia pun menyebut bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi momentum yang membuka ruang lebih besar bagi militer untuk kembali masuk ke wilayah-wilayah sipil, termasuk melalui penempatan perwira militer dalam jabatan strategis sipil. “Semakin ekspansif menduduki jabatan birokrasi sipil,” jelasnya.
Menilik Sejarah AMD, Program Bhakti atau Instrumen Politik?
Pandangan Aris Santoso tersebut dikuatkan oleh berbagai temuan ilmiah. Dalam jurnal Perkembangan ABRI Masuk Desa (AMD) Tahun 1980-1998 karya Isnu Novia Setiowati yang dikeluarkan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, disebutkan bahwa AMD adalah salah satu bentuk konkret dari pelaksanaan Dwifungsi ABRI, yakni peran ganda militer di bidang pertahanan dan sosial-politik.
Program AMD pertama kali diluncurkan oleh Jenderal M. Jusuf pada 1980, dengan tujuan resmi untuk membantu pembangunan desa yang menjadi basis masyarakat Indonesia. Namun di balik misi pembangunan itu, AMD juga berperan sebagai alat legitimasi politik Orde Baru.
Menurut jurnal tersebut, AMD diproyeksikan untuk “membina kemanunggalan ABRI dengan rakyat” sekaligus menjaga loyalitas politik masyarakat pedesaan kepada rezim, antara lain dengan mendorong suara untuk Golkar di setiap pemilu. AMD bahkan melibatkan penyuluhan politik, transmigrasi, pengawasan sosial, hingga program-program ideologis seperti penanaman P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Selama dua windu pelaksanaannya (1980–1998), AMD telah menjangkau ratusan kabupaten, ribuan desa, dan melibatkan puluhan ribu prajurit dalam kegiatan fisik (pembangunan jalan, jembatan, rumah ibadah, dll) dan non-fisik (penyuluhan, pengobatan massal, penyebaran propaganda negara). Namun program ini mulai mengalami kemunduran sejak reformasi 1998.
Setelah tekanan publik dan mahasiswa memuncak, reformasi 1998 menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI dan kembalinya militer ke barak. AMD kemudian diubah namanya menjadi TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) pada tahun 2002. Sejak itu, ruang gerak militer dalam politik secara formal dibatasi, meski dalam praktiknya masih terjadi resistensi terhadap prinsip supremasi sipil.
Militerisasi Sipil adalah Gejala Konsolidasi Politik Otoriter
Lebih jauh, tesis Honna Jun dalam jurnal Depolitisasi Militer dalam Transisi Demokrasi di Indonesia yang dikeluarkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) menjelaskan bahwa salah satu indikator kemunduran demokrasi adalah kembalinya militer dalam wilayah-wilayah sipil.
Ia menyebut bahwa dalam konteks negara pasca-otoriter, militer yang “tidak puas” dengan sekadar peran pertahanan kerap mencari jalur informal untuk mempertahankan pengaruh politiknya, entah lewat birokrasi, keamanan dalam negeri, maupun proyek-proyek strategis nasional seperti pangan.
Menurut Honna, proses depolitisasi militer pascareformasi sering kali hanya terjadi di permukaan, tanpa perubahan paradigma institusional yang mendalam. Situasi ini membuka peluang bagi munculnya kembali peran militer dalam arena sipil, terutama ketika ada dukungan dari rezim yang secara historis memiliki afiliasi militer kuat.
Kondisi ini membuat banyak analis dan akademisi menyuarakan kewaspadaan terhadap kembalinya struktur quasi-militer dalam pemerintahan sipil, apalagi di tengah lemahnya partisipasi masyarakat sipil dan institusi kontrol demokratis.