80 Tahun Kemerdekaan RI, Rakyat Belum Bebas dari Arogansi dan Represi
Jumat, 15 Agustus 2025 | 17:00 WIB
Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia justru diwarnai meningkatnya arogansi kekuasaan terhadap rakyat.
Dalam pandangannya, pemerintah tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mengikis ruang demokrasi dan berpotensi mengulang pola otoritarian masa lalu.
"Menjelang Indonesia Merdeka yang ke-80, kita masih menyaksikan perilaku sewenang-wenang dari kekuasaan," ujar Usman kepada NU Online di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Salah satu contoh yang disorot adalah kenaikan pajak hingga 250 persen di Kabupaten Pati tanpa konsultasi publik. Menurut Usman, kebijakan itu menunjukkan kepemimpinan yang arogan dan memicu gelombang protes besar-besaran, termasuk tuntutan agar bupati setempat mundur.
Tak hanya itu, Usman mengingatkan kasus intimidasi terhadap Tempo yang dikirimkan bangkai kepala babi, serta pernyataan kontroversial Menteri ATR/BPN terkait status semua tanah yang katanya milik negara meski pernyataan tersebut sudah diralat.
"Kebijakan dan pernyataan pejabat publik seharusnya melalui kajian matang dan konsultasi dengan masyarakat, bukan dengan seenaknya. Kalau seperti ini, apa bedanya dengan pemerintahan kolonial?" katanya.
Kritik terhadap Narasi Sejarah dan Pengkultusan Individu
Amnesty juga menolak rencana pemerintah menulis ulang sejarah yang awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus. Usman menyebut langkah itu berbahaya karena berpotensi menghapus catatan pelanggaran HAM, korupsi, dan praktik represif Orde Baru.
"Kalau sejarah hanya diakui satu versi, versi lain bisa dianggap subversi. Kami juga menolak rencana menetapkan Soeharto sebagai pahlawan," tegasnya.
Ia menilai langkah tersebut beriringan dengan kebijakan yang mengarah pada pengkultusan individu, termasuk wacana penetapan hari lahir Presiden Prabowo sebagai Hari Kebudayaan Nasional.
"Pengkultusan individu hanya terjadi di rezim fasis seperti Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, atau pemimpin otoriter di negara lain," ujarnya.
Tiga Indikator Demokrasi yang Tergerus
Usman menegaskan setidaknya ada tiga ciri minimal demokrasi yang kini terancam di Indonesia yaitu kebebasan sipil, keberadaan oposisi partai, dan integritas pemilu.
Ia menuding pemerintah berupaya melemahkan mekanisme checks and balances, mengkooptasi organisasi mahasiswa, dan mengikis ruang kritik.
"Kalau itu ditinggalkan, Indonesia bisa jadi bukan lagi negara demokrasi," kata Usman.
Tantangan Ekonomi dan Keadilan Sosial
Di bidang ekonomi, Usman mengkritik pemerintah yang lebih memilih menaikkan pajak rakyat kecil ketimbang menindak pengemplang pajak dari kalangan kaya.
Ia juga meragukan klaim penurunan angka kemiskinan, yang menurutnya terjadi akibat perubahan definisi standar, bukan perbaikan nyata.
"Kedaulatan rakyat terus dikikis, kesenjangan sosial makin tajam. 80 ribu orang kehilangan pekerjaan, dan itu belum mendapat solusi serius," ujarnya.
Penegakan HAM dan Papua
Amnesty menegaskan pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, mulai dari Tragedi Semanggi, Mei 1998, hingga kekerasan terhadap etnis Tionghoa.
"Akui dan bawa ke pengadilan, bentuk pengadilan HAM ad hoc," seru Usman.
Ia juga mengingatkan bahwa pendekatan militeristik di Papua justru memperlebar luka. Menurutnya, semangat Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengedepankan pengakuan budaya dan dialog damai patut dijadikan teladan.
"Gus Dur membolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora, membuka ruang identitas, dan melindungi minoritas. Kita kehilangan pemimpin seperti beliau, yang mengerti bagaimana menjaga demokrasi dari otoritarianisme dan sentralisme kekuasaan," pungkas Usman.