Kairo, NU Online
Shalat Id dimulai pada pukul 05.15 pagi. Bukan karena kepagian, Subuh di Iskandariyah tiba pukul 03.12, sedang matahari terbit pukul 04.58. Meskipun demikian, masyarakat baru pulang dari masjid sekitar pukul 09.00. Pasalnya, sepanjang waktu itu mereka mengantre bersalaman dengan para ulama.
"Mereka sengaja nunggu waktu buat salaman dan cium pipi ulama sehingga proses salam-salaman makan waktu yang cukup lama, Ied jam 5.15 plus salam-salaman jadi selesai kurang lebih jam sembilanan," kata Abdullah Syafi'i, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Kamis (6/6).
Selepas itu, barulah mereka, katanya, berkeliling melakukan kunjungan ke kerabat dan handai taulan. Sementara para pendatang ada yang diundang ke rumah masyarakat setempat atau berkunjung ke orang-orang Indonesia yang sudah berkeluarga. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan sekretariat organisasi juga melakukan open house terbatas.
Syafi'i hanya butuh waktu 10 menit berjalan kaki untuk sampai di Masjid Amru bin Ash Iskandariyah, tempat ia melaksanakan shalat Id.
Selepas shalat dan bersalaman dengan para ulama di masjid, Syafi'i bersama rekan-rekannya juga sowan ke ulama-ulama. Di antaranya, ia sowan ke Syekh Muhammad Ibrahim Abdul Baits al-Kattani.
Dalam kunjungannya tersebut, selain mengalap berkah dengan salaman dan dipeluk, para pengunjung juga diberikan nasihat olehnya. "Dalam memaafkan, orang harus dengan niat yang tulus, jangan hanya di lisan memaafkan tapi di hati masih menyimpan dendam," ujarnya.
Selain itu, salah satu ulama dengan sanad Shahih Bukhari tertinggi itu juga menyampaikan salah satu akhlak yang bisa dipelajari saat Idul Fitri adalah membiasakan diri sebelum tertidur agar senantiasa memaafkan orang lain, tidak mengingat hal-hal buruk orang lain. "Tetap istiqamah menjalankan ubudiah-ubudiah di bulan Ramadhan meskipun telah berlalu," katanya.
Selain itu, ia juga sowan kepada Syech Ala Musthofa. Dalam kunjungannya tersebut, ia mendapat nasihat untuk senantiasa bershalawat agar kelak mendapat syafaat Nabi. "Tumbuhkan rasa cinta terhadap nabi sampai cahaya nubuwah tertanam pada diri kita," katanya.
Ulama tersebut juga menasihatinya agar memperbanyak muthalaah dan murajaah agar tidak menyia-nyiakan waktu mengingat sedang thalabul ilmi, bukan tholabun naum.
Perjalanan dari satu ulama ke ulama lainnya itu, kata pria asal Betawi itu, menempuh waktu setengah jam. Sementara waktu sowan sekitar satu jam.
Alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat itu juga menjelaskan bahwa malam hari raya di sana tidak digelar takbir keliling ataupun takbiran semalaman seperti di Indonesia. "Di sini takbiran cuma dari maghrib sampe isya, selanjutnya diisi sama shalat ihyaul lailatil ied," ujarnya.
Ihyaul lailatil Ied dilakukan dengan melakukan shalat witir. Setelah itu, dilanjutkan dengan tadarus, zikir tarekat, dan shalawatan hingga pukul 12 malam.
Syafi'i selama Ramadhan mengikuti kegiatan di Iskandariyah bersama rekan-rekannya. Menurut seniornya, di kota tersebut para ulama banyak menggunakan bahasa fushah sehingga baik untuk pembelajaran bahasa bagi orang-orang yang baru tiba di Mesir. Bulan suci ini juga libur bagi ia yang baru persiapan bahasa.
"Sedangkan kalo tahun tahun berikutnya udah susah, soalnya ramadhan musimnya ujian kampus jadi bakal disibukkan dengan belajar," jelasnya.
Kegiatan sebulan penuh itu sudah ditanggung oleh pihak panitia dari senior-seniornya, dari tempat tinggal, kitab, hingga bahan makanan. "Tapi soal siapa yg nanggung biayanya saya gak paham juga, karena tiap kita nanya selalu dijawab 'Itu rezeki dari Allah'," pungkasnya sembari tertawa bahagia. (Syakir NF/Muiz)