Internasional

KMNU Malaysia: Nasionalisme Bagian Integral dari Islam

Kamis, 25 Desember 2014 | 20:50 WIB

Jakarta, NU Online
Keluarga Mahasiswa Nahdatul Ulama (KMNU) Malaysia bekerjasama dengan Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) di Malaysia menggelar diskusi bertema “The Role of Islam in Shaping the Idea of Indonesia.” Kajian dwimingguan tersebut dihelat di International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur, Ahad (20/12) malam.<>

Dalam press release yang diterima NU Online, KMNU menulis bahwa pembahasan tersebut merangkum sejarah sekaligus menelaah kembali peranan pergerakan Islam di Nusantara. Kajian sejarah Islam pra dan pasca-kemerdekaan Indonesia masih relevan untuk didiskusikan di tengah pudarnya semangat untuk mengenali jati diri sebagai warga Indonesia yang beragama Islam.

Pemakalah pada diskusi tersebut mahasiswa IIUM Imanuddin Abil Fida. Presentasi mantan Ketua Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor yang memaparkan seputar geliat sejarah pemikiran Islam ini memantik perhatian audiens yang khawatir akan mundurnya kualitas pemahaman sejarah umat Muhammad di Indonesia.

“Dalam mempelajari sejarah Indonesia membutuhkan pemahaman yang tepat tentang peran Islam. Sebelum kemerdekaan, pergerakan Islam di Indonesia terbagi menjadi dua arus besar: tradisionalis yang berkembang di pedesaan dan modernis yang tumbuh di perkotaan,” ujar mahasiswa pascasarjana bidang Ushul Fiqh Kampus Biru ini mengawali diskusi.

Arus pergerakan Islam tradisional ini, lanjut Iman, sapaan akrabnya, bersumber dari ajaran para sufi yang sudah lama mengakar di Nusantara sejak abad 16. Di sisi lain, kaum modernis lebih bersifat reformis karena membawa corak perjuangan Islam dari Timur Tengah pasca-kemunduran Kesultanan Utsmani.

Iman menambahkan, fakta bahwa Islam yang telah tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Indonesia Timur menjadikan agama ini sebagai salah satu faktor utama yang mengikat Indonesia sebelum proklamasi 17 Agustus 1945. Demikian pula, Islam di Indonesia merupakan salah satu unsur penting yang mendukung gagasan nasionalisme tumbuh.

“Informasi bahwa Islam berperan signifikan berpengaruh dalam perjuangan menentukan ideologi utama Indonesia. Berbeda misalnya dengan visi-misi Budi Utomo (BU) yang berdiri pada 20 Mei 1902 di mana tanggal tersebut justru diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, ternyata gerakan ini sangat rasis dan identik hanya pada Jawa. Sama sekali tidak mengusung cita-cita nasionalisme se-Nusantara,” ungkap Iman.

Menurut dia, BU berbeda jauh dengan Syarikat Islam (SI) yang berdiri pada 1905. Sejak awal pendiriannya sudah memilik jaringan luas, bahkan hingga Minangkabau dan Nusa Tenggara. Tidak lagi berkutat pada satu suku atau kedaerahan, SI bahkan telah melebarkan sayapnya hingga pelosok Nusantara.

“Bagi saya, SI justru lebih nasionalis dan mencerminkan kebangkitan nasional ketimbang Budi Utomo yang terkesan praksis dan rasis,” tegasnya.

Dalam makalah berbahasa Inggris tersebut, Imanuddin mengungkap pemikiran cendekiawan muslim seperti Moh Natsir, KH Wahid Hasyim, dan pejuang Islam lainnya. Menurut mereka, nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam dan kaum muslimin dapat menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut para cendekiawan tersebut, nasionalisme bagian integral dari Islam. Penerimaan mereka terhadap Pancasila sebagai ideologi negara merupakan cerminan dari komitmen mereka untuk nasionalisme Indonesia.

“Bahkan, Kiai Wahab Hasbullah mewajibkan umat Islam terjun dan mesti aktif dalam panggung politik,” tegas kader NU asal Probolinggo ini.

Menurut dia, meski NU terbentuk paling akhir (1926) ketimbang Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1915), dan Persis (1923), namun sepak terjang organisasi ini melebihi tiga organisasi yang mendahuluinya. Dengan jaringan luas dari Madura hingga Nusa Tenggara, NU bergerak cepat sehingga mampu merangkul mayoritas umat Islam Indonesia dalam waktu relatif pendek.

“Berkat NU dan perjuangan para tokohnya, laju modernitas dan puritanisasi agama mampu dibendung. Wal hasil, terwujudlah negara-bangsa yang kita cintai ini dengan spirit nasionalisme dan Pancasila,” pungkasnya. (musthofa asrori/mukafi niam)


Terkait