Ilmu Hadits

Hadits tentang Warisan yang Mencukupi: Mendidik Generasi Mandiri ala Rasulullah

Rabu, 7 Mei 2025 | 08:30 WIB

Hadits tentang Warisan yang Mencukupi: Mendidik Generasi Mandiri ala Rasulullah

Kajian hadits tentang menyiapkan generasi mandiri

Islam sebagai agama yang sempurna memberikan panduan menyeluruh bagi umatnya, termasuk membekali para kepala keluarga untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup mereka yang berada dalam tanggungannya, tidak hanya cukup secara finansial, akan tetapi ilmu dan kemampuan untuk bertahan hidup, sehingga anak cucunya hidup mandiri dan tidak ketergantungan.


Salah satu hadits yang menjadi landasan penting dalam membina keluarga yang mandiri adalah riwayat Sa’ad bin Abi Waqqash yang disampaikan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini secara literal berisi pesan agar seseorang meninggalkan warisan yang membuat keturunan menjadi tercukupi, dan meninggalkan mereka dalam kondisi cukup lebih utama daripada kemiskinan. Berikut haditsnya:  


عن عامر بن سعد أن أباه قال عادني رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع من شكوى أشفيت منه على الموت فقلت يا رسول الله بلغ بي ما ترى من الوجع وأنا ذو مال ولا يرثني إلا ابنة لي واحدة أفأتصدق بثلثي مالي قال لا قلت فبشطره قال الثلث كثير إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس وإنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت حتى ما تجعل في في امرأتك قلت آأخلف بعد أصحابي قال إنك لن تخلف فتعمل عملا تبتغي به وجه الله إلا ازددت درجة ورفعة ولعلك تخلف حتى ينتفع بك أقوام ويضر بك آخرون اللهم أمض لأصحابي هجرتهم ولا تردهم على أعقابهم لكن البائس سعد بن خولة قال سعد رثى له النبي صلى الله عليه وسلم من أن توفي بمكة


Artinya, "Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad bin Abi Waqqash) berkata: Rasulullah saw menjengukku pada saat Haji Wada’ karena sakit yang membuatku hampir meninggal. Aku berkata,

“Wahai Rasulullah, sakitku telah sampai pada kondisi yang engkau lihat, sedangkan aku memiliki harta, dan yang akan mewarisiku hanyalah seorang putri. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku?”

 

Beliau menjawab, “Jangan.” Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau menjawab, “Sepertiga sudah banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain.
 

Tidaklah engkau menginfakkan sesuatu dengan niat mencari rida Allah kecuali engkau akan diberi pahala, bahkan hingga sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan tertinggal setelah para sahabatku?” Beliau menjawab, “Engkau tidak akan tertinggal lalu melakukan amal dengan niat mencari rida Allah kecuali engkau akan bertambah derajat dan kemuliaan.
 

Barangkali engkau akan tertinggal sehingga ada kaum yang mendapat manfaat darimu dan kaum lain yang dirugikan olehmu. Ya Allah, sempurnakanlah hijrah para sahabatku dan jangan kembalikan mereka ke belakang. Namun, yang malang adalah Sa’ad bin Khaulah.” Sa’ad berkata, “Rasulullah saw meratapi Sa’ad bin Khaulah karena wafat di Makkah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Kalimat yang ingin penulis garisbawahi dalam hadits di atas adalah:
 

"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain. Tidaklah engkau menginfakkan sesuatu dengan niat mencari rida Allah kecuali engkau akan diberi pahala, bahkan hingga sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu."


Hadits di atas menegaskan bahwa meninggalkan warisan yang membuat keturunan kaya, atau sebut saja berkecukupan, lebih utama daripada menyedekahkan seluruh harta sehingga mereka menjadi miskin dan bergantung pada orang lain. 


Menurut Al-Qurtubi dalam Al-Mufhim, Rasulullah saw menekankan pentingnya menjaga kesejahteraan ahli waris sebagai bentuk kasih sayang dan tanggung jawab. Jika seseorang memiliki niat baik untuk meninggalkan harta bagi keturunannya, terutama jika mereka lemah secara finansial, maka pahalanya lebih besar daripada bersedekah kepada orang lain. (Al-Mufhim, [Beirut, Dar Ibni Katsir: 1996], jilid IV, halaman 545).


Hadits ini juga menyoroti pentingnya niat dalam setiap pengeluaran harta. Rasulullah saw menyatakan bahwa setiap infak yang dilakukan dengan niat mencari ridha Allah akan mendatangkan pahala, bahkan untuk hal-hal kecil seperti memberikan nafkah pangan kepada istri.
 

An-Nawawi menjelaskan bahwa perbuatan yang mubah, seperti memberi makan kepada keluarga, dapat berubah menjadi ibadah jika disertai niat yang ikhlas. Perolehan pahala dengan niat akan mendorong umat Islam untuk menjadikan aktivitas sehari-hari, termasuk bekerja dan mengelola harta, sebagai sarana mendekat kepada Allah. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, [Beirut, Dar Ihya-it Turats: 1392], jilid XI, halaman 78).


Menurut Ibnu Batthal, hadits di atas menunjukkan bahwa pekerjaan yang halal dan hasilnya dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga merupakan salah satu amal saleh yang utama dalam Islam. (Syarh Shahih Bukhari libni Batthal, [Riyadh, Maktabaturs Ruysd: 2003], jilid VIII, halaman 144).


Sementara Ad-Dihlawi menjelaskan, hadits di atas mengandung dorongan dan motivasi untuk mencari rezeki yang halal guna mendukung ketaatan kepada Allah. Bekerja yang halal, dengan niat supaya anak cucu tercukupi, adalah bagian dari tanggung jawab seorang Muslim. Harta yang dikelola dengan baik dapat membantu keturunan kita untuk menjalankan ibadah, menjaga kehormatan, dan berkontribusi pada masyarakat. (Lam’aatut Tanqih, [Damaskus, Darun Nawadir: 2014], jilid V, halaman. 712).


Perlu dipahami oleh para pembaca bahwa "warisan" yang dapat diberikan oleh orang tua atau siapa pun kepada keluarganya tidak selalu berwujud harta benda. Keterampilan dalam bidang tertentu, ilmu pengetahuan yang menjadi dasar keahlian, serta akhlak mulia adalah modal berharga yang seharusnya diwariskan kepada generasi penerus, bukan sekadar kekayaan materi.


Alasannya sederhana: harta, betapa pun banyaknya, rentan terhadap inflasi dan penurunan nilai, kecuali dalam kasus tertentu. Sebaliknya, karakter mulia dan kemampuan kognitif akan terus menjadi bekal abadi bagi seseorang untuk menjalani kehidupan, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul.


Hadits ini menginspirasi kita untuk terus berlomba dalam kebaikan, mengedukasi diri dan orang lain, serta menjalankan aktivitas positif. Dengan demikian, tindakan-tindakan tersebut tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan sekitar, tetapi juga menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.