Tegal, NU Online
Di kala Idul Fitri tiba, silaturahim tiada henti dari rumah ke rumah antar sanak famili. Di sela tersebut, anak-anak pun bermain di serambi, sembari tertawa lepas menikmati hidangan lebaran. Tanpa di suruh, diakhir silaturahim, anak anak kembali bersalaman dan saat bahagiapun datang karena ketika bersalaman dengan tuan tumah terselip uang pecingan.
"Aku dapat Rp50 ribu dari Pak De," ucap salah seorang anak kecil Ilmi usai mendapatkan uang pecingan saat bersilturahim di Desa Selapura, Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah di hari pertama Jumat (15/6) kemarin.
"Kearifan lolal tradisi mecingi (memberi uang), merupakan tahapan untuk mengantarkan pribadi muslim agar memiliki sikap kesalehan sosial," kata Sang Maestro Budaya Pantura H Atmo Tan Sidik kepada NU Online, saat di temui di rumahnya, Jalan Cireme Kota Tegal, Senin (18/6).
Menurutnya, pepatah yang mengatakan tahadda wa mahabba, saling memberi hadiah untuk menumbuhkan jiwa mahabbah berimplikasi dari sekadar kesalehan ritual individual, tetapi bergulir meningkat menjelma dalam kesalehan sosial.
"Mecingi, mendidik orang untuk tidak bakhil kepada anak anak generasi penerus ummat," tandasnya.
Ibarat sumur, lanjut Ketua Lesbumi Kota Tegal ini, kalau sumur tidak pernah di kuras maka akan baleng (bau busuk). Demikian juga dengan harta, harus di buang secara berkala untuk menolak bala dan menjadikan kebeningan hati.
Mecingi (memberi uang kepada anak-anak) memang bukan bentuk sedekah, tapi hadiah yang tidak membuat orang yang menerima pecingan menjadi hina atau nista. Bisa saja, anak seorang majikan di pecingi oleh buruh atau pembantu dari orang tuanya.
Keliru kalau budaya mecingi mengajarkan anak bermental pengemis. Justru dengan pecingan akan menumbuhkan sikap dan sifat kasih sayang dan belajar bersedekah.
"Bukan, bukan mengajarkan untuk meminta minta, tapi sarana tegur sapa dengan hadiah yang membahagiakan keluarga," pungkasnya. (Wasdiun/Muiz)