Pekalongan, NU Online
Syawalan di Kota Pekalongan tinggal beberapa hari lagi, tepatnya Rabu (12/6). Suatu momen yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Hari itu suasana di Kelurahan Krapyak Kecamatan Pekalongan Utara tempat diselenggarakannya 'pesta lopis' akan penuh sesak oleh ribuan masyarakat untuk merayakannya.
Bahkan suasana syawalan lebih heboh dan ramai dibanding lebaran itu sendiri. Masyarakat dari berbagai penjuru berbondong bondong sejak subuh menuju ke satu titik, yakni Kelurahan Krapyak (dulu ada dua kelurahan yakni Krapyak Lor dan Krapyak idul) untuk menikmati hidangan warga yang sengaja disuguhkan oleh tuan rumah.
Tradisi syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat di wilayah Kelurahan Krapyak menurut Aktivis Ansor Krapyak Adi Sujadi sudah berlangsung sejak ratusan silam, yakni sekitar tahun 1885. "Orang yang pertama kali memelopori perayaan syawalan adalah KH Abdullah Sirodj, ulama Krapyak yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso, salah satu Senopati Kerajaan Mataram di Pekalongan," ujarnya.
Dijelaskan, menurut Ustadz Abdurrochim Umar, salah seorang cucu Kiai Abdullah Sirodj, awalnya KH Abdullah Sirodj rutin melaksanakan puasa Syawal, yaitu sehari setelah lebaran pertama atau tanggal 2 hingga 7 syawal. Puasa ini kemudian diikuti oleh sebagian masyarakat di sekitar krapyak.
"Tradisi puasa setelah lebaran ini kemudian diketahui oleh masyarakat di luar Krapyak, sehingga meskipun hari raya, mereka tidak berkunjung atau bersilaturahmi ke sana demi menghormati masyarakat Krapyak yang masih melanjutkan ibadah puasa Syawal," tandasnya.
Aktivis Ansor yang biasa dipanggil Ustadz Adi ini menjelaskan, pada 1855 Kiai Abdullah Sirodj mendirikan sebuah organisasi bernama Warroqotul Islam. Organisasi ini bertujuan menggembleng para pemuda baik jasmani maupun rohani sebagai upaya persiapan melawan kompeni Belanda.
"Baru berjalan beberapa bulan, organisasi yang memiliki anggota 160 pemuda ini telah tercium oleh mata-mata Belanda, sehingga kemudian kompeni Belanda berniat menangkap Kiai Abdullah Sirodj hidup atau mati," ungkapnya.
Mengingat organisasi Warroqotul Islam ini belum begitu kuat, salah seorang santrinya kemudian mengusulkan agar Kiai Abdullah Sirodj meninggalkan Pekalongan dan hijrah ke daerah Payaman Magelang.
Menurut Ustadz Adi, yang menjadi khas dalam tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan adalah disajikannya makanan berupa lopis, semacam kudapan yang terbuat dari ketan. Mengapa yang dibuat pada waktu syawalan adalah lopis bukan ketupat, hal ini sebagai tanda yang membedakan antara tanggal 1 Syawal dengan 8 Syawal.
"Kalau tanggal 1 Syawal ya tentu sebagian besar orang akan memasak ketupat. Nah sebagai pembeda maka masyarakat Krapyak membuat lopis," ungkapnya.
Lalu mengapa dulu Kiai Abdullah Sirodj memilih lopis sebagai simbol dalam acara syawalan ini? Menurut Kiai Haji Zainudin Ismail, tokoh masyarakat Krapyak, lopis yang terbuat dari bahan dasar beras ketan memiliki daya rekat yang kuat, sehingga makanan ini diibaratkan sebagai lambang persatuan warga.
"Dulu waktu Presiden Bung Karno datang dalam rapat Akbar di lapangan Kebon Rodjo tahun 1950, beliau berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis, sehingga kemudian setiap syawalan kita selalu memotong lopis," pungkasnya. (Muiz)