Daerah

Pesantren Barokatul Qur'an Bumikan Al-Qur'an Sejak Dini

Kamis, 31 Mei 2018 | 16:00 WIB

Pesantren Barokatul Qur'an Bumikan Al-Qur'an Sejak Dini

Pesantren Barokatul qur'an Brebes

Brebes, NU Online
Ratusan anak seusia Madrasah Ibtidaiyah (MI) duduk bergerombol membentuk lingkaran antara tujuh hingga sepuluh orang. Mereka tengah khusyu membaca Al-Qur'an di hadapan ustadznya. Tampak di sisi lain, tengah asyik tiga hingga empat anak duduk santai di saung sembari memegang ranting sambil mengalunkan nadhom. 

Ada juga yang bermain pedang-pedangan dan bermain bola di sebuah sudut lainnya. Nuansa indah tersebut tampak NU Online saksikan di Pondok Pesantren Barokatul Ulum, Desa Gandasuli, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Kamis (31/5).

“Itulah dunia anak-anak, dengan dunianya sendiri mereka justru gampang sekali menghafal dan meresapi kandungan Al-Qur'an,” tutur pengasuh Pesantren Barokatul Ahmad Fauzan. 

Kang Fauzan, demikian sapaan pengasuh muda ini memiliki tekad memasukan Al-Qur'an ke dalam relung-relung hati anak-anak sehingga menjadi pegangan yang kuat hingga akhir hayatnya. Lewat Qur'an, mampu mencetak anak yang saleh. Apalagi di bidang hafalan, maka sampai akhir hayat pun tidak terlupakan. 

“Mempelajari Al-Qur'an dengan menghafalkan, jauh berbeda dengan yang hanya dibaca saja,” ucapnya.

Dia mendirikan pesantren tahfidh sejak 2008 diawali dengan membawa santri yang dia asuhnya ketika di Pemalang, sebanyak 10 santri. Lambat laun, dirinya merasa kewalahan karena semakin banyak peminat hingga santrinya mencapai 70 orang. 

“Karena rumah saya kecil, maka saya ngontrak satu rumah lagi agar bisa menampung hingga 70 santri,” ungkapnya menceritakan awal perjalanan pesantren berdiri.

Menginjak 2013, pondok yang awalnya berada di rumah Gandasuli sebelah utara kemudian pindah ke pondok yang baru di Gandasuli sebelah selatan dengan fasilitas ruang yang cukup memadai. “Kepindahan ke pondok ini, pas kelahiran anak saya sehingga memiliki sejarah tersendiri,” ungkapnya.

Dengan berpindah tempat, kini santri yang mukim menjadi 260 santri. Menurutnya sengaja dibatasi karena keterbatasan tempat dan jumlah pengasuh yang hanya 30 orang. Ditempat yang baru dengan luas sekitar 2500 meter persegi digabung pula dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Ada siswa MI yang ikut nyantri, ada juga yang pulang ke rumah. Tetapi pembelajarannya hampir sama bagi yang mukim ataupun yang pulang. 

“Ada 130 yang mukim yang dimasukkan ke dalam kelas B, dan yang tidak mukim juga 130 berada di kelas A,” tuturnya.

Santri yang mukim, tentu saja meneruskan hafalan sepulang sekolah. Sedangkan untuk pelajaran pondok sama seperti pondok-pondok salaf lainnya seperti fiqih, tauhid, tajwid, akhlak, bahasa arab, khot, imla dan dasar dasar pelajaran pesantren pada umumnya. 

Alhadulillah, penerapan Pesantren Satu Atap dengan Madrasah ini bisa meningkatkan disiplin santri karena santri tidak keluar seenaknya dari lingkungan pondok,” ucapnya.

Sebagai pondok yang mengasuk anak-anak usia antara 6 tahun hingga 12 tahun tentunya repot. Tapi juga asyik karena dunia anak-anak sangat dinamis dan mengasyikan. 

“Semoga Barakah, dan melahirkan anak yang saleh salehah,” pungkasnya. (Wasdiun/Muiz)



Terkait