Syariah

Mengapa Zakat Fitrah Dianjurkan Berupa Makanan Pokok?

Sab, 23 Mei 2020 | 10:45 WIB

Mengapa Zakat Fitrah Dianjurkan Berupa Makanan Pokok?

Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa membayar zakat fitrah sebaiknya berupa makanan pokok.

Setahun sekali umat Islam diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuk diberikan kepada mustahiq zakat, terutama fakir-miskin. Meski zakat fitrah boleh diujudkan dalam bentuk uang sebagaimana pendapat ulama-ulama Hanafiyah, ulama-ulama Syafi’iyah memandang lebih baik zakat fitrah berupa makanan pokok sesusai dengan kebiasan setempat sebagai makanan sehari-hari yang mengenyangkan perut. Bisa saja zakat fitrah untuk pulau Jawa berupa beras, namun di pulau lain yang jarang tersedia beras, zakat fitrah bisa berupa sagu, atau lainnya.

 

Zakat fitrah ini harus sudah disampaikan kepada musthiq zakat paling lambat sebelum shalat Idul Fitri 1 Syawal di pagi hari. Setelah itu zakat fitrah tidak sah, tetapi tetap berpahala sebagai sedekah biasa. Mengapa zakat fitrah sebaiknya berupa bahan makanan pokok dan mengapa pula harus diberikan sebelum shalat Id? Berikut ini adalah sebagian dari jawabannya.

 

Pertama, sebelum berangkat ke masjid atau tanah lapang untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, umat Islam disunnahkan makan terlebih dahulu. Sunnah ini tidak bisa dilaksanakan oleh para fakir-miskin apabila mereka memang tidak memiliki sesuatu untuk dimakan karena saking miskinnya. Justru karena itulah, maka zakat fitrah sebaiknya berupa makanan pokok. Jika berupa uang tentu tidak bisa dimakan karena uang adalah alat untuk transaksi jual beli.

 

Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa membayar zakat fitrah adalah dengan qût (makanan pokok) . Pendapat itu didasarkan pada hadits yang menyatakan zakat fitrah adalah harus dengan makanan pokok sebagaiamana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut:

 

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ.
 

Artinya, “Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum (HR Bukhari dan Muslim).

 

Kedua, makan di pagi hari sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri merupakan salah satu tanda bahwa puasa Ramadhan memang sudah berakhir di mana umat Islam dapat kembali makan di pagi hari lagi sebagaimana hari-hari biasa di luar Ramadhan. Itulah sebabnya hari raya setelah berakhir Ramadhan disebut Idul Fitri. Secara harfiah, “Idul Fitri” berarti “kembali makan di pagi hari (sarapan)” sebagaimana hari-hari biasa.

 

Makan pagi tentu berbeda dengan makan sahur. Letak perbedaanya adalah makan sahur dilakukan pada dini hari dengan tujuan berpuasa. Batas maksimalnya adalah dengan tibanya waktu shubuh. Sedangkan makan pagi atau sarapan umumnya dilakukan sebelum berangkat kerja karena tidak berpuasa. Dalam konteks Idul Fitri makan pagi dilaksanakan sebelum berangkat beribadah kepada Allah, yakni melaksanakan shalat Idul Fitri, bisa di masjid, di tanah lapang, atau tetap berada di rumah dalam masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

 

Ketiga, untuk memastikan bahwa pada 1 Syawal tidak ada fakir-miskin yang tidak memiliki makanan sehingga bersedih hati di tengah-tengah umat Islam dianjurkan menunjukkan kegembiraannya dengan menyambut datangnya hari raya Idul Fitri. Umumnya orang masih bisa tersenyum walau tidak memiliki uang. Tetapi mereka bisa marah dan bahkan berbuat jahat ketika lapar dan tidak ada yang bisa dimakan.

 

Oleh karena itu, mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa membayar zakat fitrah sebaiknya tidak dengan uang tetapi dengan bahan makanan agar segera dapat dikonsumsi untuk menyambut Idul Fitri dengan menyantap makan pagi dahulu sebelum berangkat menunaikan shalat Idul Fitri.

 

Keempat, pada 1 Syawal sebelum shalat Idul Fitri pada umumnya tidak ada orang berjualan makanan. Semua warung sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri umumnya tutup sehingga memiliki uang pada saat itu tidak menjamin seseorang bisa membeli sesuatu untuk dimakan. Lain halnya dengan setelah shalat Idul Fitri, beberapa warung makan biasa buka dan banyak pembeli.

 

Di situlah permasalahannya, jika fakir miskin mendapatkan zakat fitrah berupa uang dan uang baru bisa dibelikan makanan setelah shalat Idul Fitri, tentu mereka kehilangan kesempatan menjalankan sunnah Nabi, yakni makan atau sarapan pagi sebelum berangkat menunaikan shalat Idul Fitri. Ini bisa merugikan mereka dilihat dari kesempatan beribadah.

 

Dari keempat alasan itulah, maka bisa dimengeti bahwa sebagian besar ulama memandang menunaikan zakat fitrah sebaiknya dengan makanan pokok daripada uang. Tetapi apabila penyerahannya lewat amil zakat, maka amil tersebut sebaiknya membelikan makanan pokok terlebih dahulu baru kemudian disampaikan kepada mustahiq zakat sudah berupa makanan pokok dan bukan uang tunai.

 

Jika para ulama Hanafiyah memandang uang lebih praktis dan lebih bermanfaat bagi fakir-mskin, maka baik-baik saja memberikan uang kepada mereka sebagai sedekah namun dengan tetap memberikan makanan pokok kepada mereka sebagai zakat. Cara kombinasi antara pandang ulama Syafi’iyah dan ulama Hanfiyah ini tentu lebih bijak dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para muzakki untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta.