Warta

Warga Eks Kompleks Siliwangi Bertekad Hadapi Penggusuran

NU Online  ·  Senin, 14 Februari 2005 | 23:52 WIB

Jakarta, NU Online
Mengaku terkejut menerima surat dari Pihak Kodam V Jayakarta tertanggal 3 Februari 2005 yang berisi permintaan pengosongan tanah dan bangunan bukan berarti Warga eks Kompleks Siliwangi di Jalan Pasar Senen No. 7, Jakarta Pusat, harus menerima begitu saja. Mereka menyatakan siap menghadapi penggusuran oleh pihak Komando Daerah Militer (Kodam)V/Jayakarta. Kami tetap akan bertahan, “ kata Ketua Warga Eks Kompleks Siliwangi, Robert Sitorus, kepada wartawan di   depan rumahnya, Jakarta.

“Meski pada surat perintah pengosongan dari Kodam V Jayakarta tertulis tanggal 3 Februari 2005, dan mengultimatum warga agar meninggalkan kompleks itu paling lambat hari Sabtu (12/2), tapi isi surat itu menjadi ironis. Karena surat itu baru kami terima Sabtu pada batas ultimatum,”kata Sitorus.

<>

Dia mengaku terkejut dengan datangnya surat ini. Namun, Robert menyatakan tidak takut. Bahkan, Kita lebih semangat lagi,” kata Sitorus. Menurutnya, jika penggusuran dilakukan, maka hal ini merupakan kejadian kedua setelah penggusuran pertama, 9 April 1984 lalu.

Robert menjelaskan, saat penggusuran tahun 1984, Kodam Jaya terlebih dahulu memutuskan air dan listrik. Sehingga, di sini gelap gulita. Dia juga sempat menunjukkan berbagai foto ketika terjadi peristiwa itu.

Sementara itu, pasca penggusuran, dia mengatakan bahwa sekitar 50 Kepala Keluarga (KK) di kompleks itu menyebar mengontrak rumah di tempat berbeda. Mereka kembali membangun rumah ditempat itu sekitar tahun 1998 setelah Soeharto turun. Namun, hingga saat ini tinggal sekitar 12 KK, “ katanya.

Menurut Sitorus, sesungguhnya Kodam Jaya tidak berhak melakukan penggusuran. Alasannya, Kodam Jaya bukanlah pemegang hak tanah. Selain itu, hingga saat ini Eks. Kompleks Siliwangi masih dalam obyek perkara baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Disamping itu, kata dia, berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 984.K/PDT/1990 tanggal 7 Desember 1998 menyatakan bahwa Kodam Jaya tidak berhak melakukan penggusuran terhadap tanah tersebut. Bahkan, atas peristiwa penggusuran tahun 1984, Kodam Jaya dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum(PMH) dan diwajibkan membayar ganti rugi atas pengosongan rumah warga.

Menanggapi surat Kodam Jaya, Robert mengaku telah menghubungi berbagai pihak. Di antaranya Presiden, DPR-RI, serta Komnas HAM. Hasilnya, kata dia, Komnas HAM telah meminta Asisten Logistik Kodam Jaya untuk menunda peggusuran sampai status tanah tersebut memperoleh putusan mengikat. Sementara itu, kita juga masih menunggu tanggapan bapak presiden,” ujar Sitorus.

Sitorus melanjutkan, sengketa itu bermula pada saat Departemen Keuangan (Depkeu) berniat membangun Pusat Keuangan (Financial Center) di tempat itu. Sementara itu, warga masih mengusahakan perolehan sertifikat tanah.

Namun, pada tahun 1981 terjadi pemutusan sepihak oleh pihak Agraria. Isinya, mengatakan bahwa perolehan sertifikat tanah itu harus memperoleh izin Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).

Padahal, kata Sitorus, saat itu warga telah memperoleh Surat Keterangan Pendaftaran Tanah, Hak Guna Bangunan. Tinggal sertifikat hak pakai. “Warga bingung ada urusan apa tanah dengan Dephankam, “ katanya sambil mengerutkan keningnya.

Buntutnya, tahun 1981 mereka mengajukan gugatan terhadap Dephankam, Agraria, dan Depkeu hingga tahap Kasasi Mahkamah Agung. Akhirnya, hasil putusan MA yang baru keluar tanggal 31 Maret 1984 menyatakan tanah itu sebagai status quo. Sehingga, tidak ada yang harus dieksekusi dalam perkara ini, “ kata dia.

Namun, lanjutnya, tanggal 9 April 1984 terjadi penggusuran oleh Kodam Jaya. Ironisnya, tahun 1988 ketika proses hukum terhadap penggusuran itu masih berjalan, Agraria mengeluarkan sertifikat Hak Pakai nomor 305 atas nama Depkeu.

Sitorus mengharapkan, ada pertemuan langsung antara warga dengan Menteri Keuangan tanpa melibatkan Kodam Jaya. “Langsung Menteri Keuangan. Masalahnya kalau cuma Biro tidak bisa ambil keputusan, “ tegas Robert.

Dia membantah anggapan beberapa pihak bahwa warga arogan terhadap kasus ini. “Itu salah. Kan belum ada pertemuan, “ jelas Robert.

Hingga minggu (13/2) para wartawan belum berhasil meminta klarifikasi dari pihak kodam. Telephon genggam kepala penerangan Kodam Jaya Letkol CHK Apang Supandi selalu mailbox ketika dihubungi. (ti/Dul)