Warta

Transliterasi Model Pesantren Perlu Dikembangkan

NU Online  ·  Ahad, 10 Januari 2010 | 03:17 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam sistem pendidikan modern saat ini banyak dikembangkan sistem transliterasi baru yang lambat laun menggusur transliterasi yang telah berkembang di dunia pesantren. Padahal transliterasi model pesantren yang mengacu pada tradisi lisan (orality) yang berkembang di pesantren itu jauh lebih mudah dipraktikkan oleh kalangan penulis.

Sementara trasliterasi baru yang hanya mengutamakan konsistensi dan keseragaman itu banyak menimbulkan kesulitan, tidak hanya bagi penulisnya, tetapi juga menyulitkan bagi pembacanya.<>

Demikian menurut Enceng Shobirin dalam diskusi terbatas mengenai pengembangan transliterasi di ruang redaksi NU Online, lantai 5 kantor PBNU Jakarta pekan ini.

Lebih memprihatinkan lagi, kata peneliti sosial itu, pemaksaan trasliterasi semacam itu membuat mereka terasing dengaan tradisi tradisinya sendiri yang berkembang di pesantren karena dipaksa mengikiti tradisi mereka. Pengasingan terhadap tradisi ini merupakan awal dari proses desintegrasi kebudayaaan ini yang perlu dihindarkan

”Jika masyarakat telah diasingkan dari tradisi dan budayanya sendiri dipasikan mereka akan kehilangan otentisinya atau keasliannya, sehingga akan kehilangan kreativitas karena kehilangan kebebasan dalam berekspresi sesuai dengan tradisinya sendiri,” katanya.

Mengingat bahaya itu maka Enceng sangat mendukung upaya Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU untuk mengembangkan kembali transliterasi model pesantren. Bahkan dirinya berjanji akan memperjuangkan langkah strategis PP- LTN ini bisa disahkan dalam Muktamar NU ke-32 nanti sehingga memiliki kekuatan politik dan hukum dalam pelaksanaannya di lingkungan NU dan pesantren.

Langkah ini dinilai sangat wajar mengingat NU adalah organisasi besar yang mencakup bidang keagamaan dan kebudayaan termasuk bidang ilmu pengetahuan. Sudah selayaknya NU memiliki sistem transliterasi sendiri yang berbeda dengan sistem yang berkembang di perguruan tinggi.

Menurutnya, pesantren yang disebut Gus Dur sebagai sub kultur sudah semestinya kalau memiliki kultur akademik tersendiri. Secara umum kalangan pimpinan NU dan pesantren sangat setuju dengan langkah ini, tinggal menunggu terumuskannya model transliterasi tersebut selesai disusun. (mdz)