Warta

Teori Benturan Peradaban Terlalu Dramatisir Perbedaan

Sel, 12 Agustus 2008 | 11:08 WIB

Jakarta, NU Online
Teori benturan peradaban atau clash of civilization yang dikemukakan oleh Samuel Huntington yang berasumsi Islam dan Barat akan saling berbenturan untuk memperebutkan pengaruh di dunia dianggap terlalu membesar-besarkan perbedaan antara dua peradaban besar ini.

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Enceng Sobirin Najd berpendapat pendekatan Hantington dinilainya memberi makna politik yang terlalu dalam antara dua peradaban itu sehingga pada akhirnya akan tejadi benturan.<>

“Saya melihatnya bahwa sesungguhnya teori benturan peradaban Huntingten terlalu didramatisir. Adanya perbedaan sebagai saling bereaksi dan dibenturkan, padahal sebenarnya perbedaan itu biasa saja,” katanya di PBNU baru-baru ini..

Pendekatan konfrontatif ini juga tidak sesuai dengan pandangan Islam moderat ala NU yang melihat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil alamiin, yang damai dan mengutamakan kemasalahatan untuk semua. Dalam konteks ini, perbedaan budaya dan peradaban dimaknai dengan saling mengisi dan menghargai satu sama lain.

“Inilah yang diyakini dan diupayakan oleh NU untuk menciptakan perdamaian dunia,” terangnya.

Upaya menjembatani perbedaan budaya ini salah satunya dengan menggelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 29 Juli-1 Agustus lalu di Jakarta yang menghadirkan ulama dan cendekiawan muslim dari 67 negara.

“Apa yang diperankan NU dengan sendirinya berpotensi memberi kontribusi dalam berdamaian dunia. Perdamaian kan bukan nasional an sich, kita kan bagian dari masyarakat dunia. Perdamaian yang diciptakan dengan sendirinya bisa dipromosikan untuk kontribusi kita sebagai bangsa di tingkat Internasional,” tandasnya.

Islam moderat yang memiliki faham seperti NU sangat besar jumlahnya di dunia, mulai di China, Asia Tengah, Rusia sampai dengan Afrika. Kerjasama diantara mereka dapat mengurangi potensi munculnya radikalisme.

Usaha NU untuk menjalin silaturrahmi antara pemuka agama Islam ini mendapat sambutan internasional, apalagi NU sendiri merupakan organisasi Islam terbesar di dunia dengan jaringan yang kokoh secara kultural.

“Peran NU menjadi sangat penting karena perkembangan modernitas telah melahirkan faham yang konfrontatif, fundamentalistik, dan hitamj putih dalam menilai segala sesuatu yang saat ini berkembang dimana-mana,” ujarnya.

Enceng menjelaskan, agama di tangah NU menjadi faktor bagaimana kedamaian bisa dicapai karena NU bisa meredam faham-faham keras tersebut. “NU tidak menghendaki faham yang fundamentalistik ini diberangus, tetapi mengimbangi jangan sampai berkembang lebih luas di masyarakat,” terangnya.

Sebenarnya, berbagai kelompok Islam bisa memainkan peran masing-masing, dengan mengembangkan sikap yang saling menghargai, tidak memaksakan fahamnya. “Dengan ini saja kelompok Islam yang ada bisa berperan dengan sendirinya. Sikap menahan diri, toleran, menghargai keyakinan yang berbeda merupakan peran penting, dan ini perlu saling tegur-sapa, bahasa Qur’annya saling mengingatkan,” tambahnya. (mkf)